Minggu, 04 Desember 2011

Kronologi Bencana Lumpur Lapindo

Senin, 08 Januari 2009. 11:45 WIB
DOKMI/ip
01. Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa ini, sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil berjumlah 188 KK atau 725 Jiwa terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan Pasar Baru Porong. 02. Pada tanggal 7 Juni 2006, semburan lumpur panas semakin membesar dan mulai mendekati pinggir bagian Timur di Desa Siring sehingga mengancam pemukiman penduduk di desa tersebut. Kondisi ini terus memprihatinkan karena semakin hari debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar hingga akhirnya pada 7 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal pemukiman penduduk dusun Renomencil Desa Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring. Akibat dari peristiwa ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau ke rumah-rumah sanak famili yang tersebar di sejumlah tempat.
03. 10 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal persawahan bagian Selatan lokasi semburan yang berbatasan dengan Desa Jatirejo, di kawasan itu juga terdapat sejumlah pabrik.
04. 12 Juli 2006 lumpur panas mulai menggenangi areal pemukiman Desa Jatirejo dan Kedungbendo akibat tanggul-tanggul penahan lumpur di Desa Renokenongo dan Siring tidak mampu menahan debit lumpur yang semakin membesar.
05. Pada bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak kurang 25.000 jiwa mengungsi. Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur adalah lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon). Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit .
06. Memasuki akhir September 2006, Desa Jatirejo Wetan termasuk di sini dusun Jatianom, Siring Tangunan dan Kedungbendo, tenggelam akibat tanggul penahan lumpur di desa Siring dan Renokenongo kembali jebol.
07. 22 November 2006, pipa gas milik Pertamina meledak, yang menyebabkan 14 orang tewas (pekerja dan petugas keamanan) dan 14 orang luka-luka . Peristiwa meledaknya pipa Pertamina diceritakan oleh penduduk seperti kiamat karena ledakan yang sangat keras dan api ledakan yang membumbung sampai ketinggian 1 kilo meter. Penduduk panik dan berlarian tak tentu arah. Suasana sangat mencekam dan kacau balau . Sebelumnya telah ada peringatan bahwa akibat amblesnya tanggul yang tidak kuat menahan beban menyebabkan pipa tertekan sehingga dikhawatirkan akan meledak. Namun peringatan ini tidak diindahkan oleh pihak Pertamina. Peristiwa ini juga mengakibatkan tanggul utama penahan lumpur di desa Kedungbendo rusak parah dan tidak mampu menahan laju luapan lumpur. Dari peristiwa tersebut sejumlah desa di wilayah utara desa tersebut seperti, Desa Kali Tengah dan Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera Kecamatan Tanggulangin, mulai terancam akan tergenang lumpur.
08. 6 Desember 2006, Perumtas I dan II tergenang lumpur dengan ketinggian yang beragam. Di laporkan lebih dari 2000 jiwa harus mengungsi ke Pasar Baru Porong.
09. Memasuki Januari 2007, Perumtas I dan II sudah terendam seluruhnya.
10. Memasuki April 2007, lumpur dan air mulai merendam Desa Ketapang bagian Timur akibat luapan lumpur yang bergerak ke arah Barat menuju jalan raya Surabaya Malang gagal ditahan oleh tanggul-tanggul darurat di perbatasan antara desa Kedungbendo dan Desa Ketapang. Dilaporkan lebih dari 500 orang harus mengungsi ke Balai Desa Ketapang.
11. 10 Januari 2008, Desa Ketapang Barat dan Siring Barat terendam air dan lumpur akibat tanggul di sebelah Barat yang berdekatan dengan jalan raya Malang-Surabaya jebol karena tidak mampu menahan lumpur yang bercampur dengan air hujan. Dilaporkan sekitar lebih dari 500 orang mengungsi ke Pasar Porong atau ke sanak keluarga mereka yang terdekat.
12. Dengan demikian sampai November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/ atau terendam dan/ atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan, Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah. (*/OL-8)
sumber: Wakil Kepala Bidang Eksternal Komnas HAM Nur Kholis

LIMA TAHUN TRAGEDI LUMPUR LAPINDO: PERSPEKTIF GEOLOGI

Dr Andang Bachtiar
(Arema, Geologist merdeka, Ketua Dewan Penasehat IAGI, Chairman Exploration Think Tank Indonesia)

KILAS BALIK

Gunung lumpur (mud-volcano) adalah ekspresi permukaan tanah (dan bawah laut) dari munculnya endapan lumpur tekanan tinggi yg berasal dari bawah permukaan bumi. Seringkali gunung lumpur dikaitkan dengan penyebab alamiah geologis, karena sebelum kejadian semburan Lusi 29 Mei 2006, khasanah literatur geologi dunia jarang mendokumentasikan kasus munculnya gunung lumpur yang dipicu oleh kegiatan manusia. Karena kejadian munculnya gunung lumpur di Sidoarjo ini pertama kali di sekitar lokasi pemboran sumur Banjar Panji-1 yang pada waktu itu sedang mengalami masalah “loss”: dan “kick” disusul “underground blow-out” (semburan liar bawah permukaan), maka mengkaitkannya sebagai pemicu munculnya gunung lumpur tersebut adalah sangat logis.
Waktu pertama kali diwawancara oleh koran daerah Surabaya tentang hal ini, 2 Juni 2006, sayapun sudah mengatakan bahwa fenomena awal dari semburan lumpur tersebut adalah dikarenakan adanya semburan liar bawah permukaan karena waktu itu saya sempat meninjau lokasi dari pinggir jalan tol saat mudik ke Malang, kota kelahiran saya. Fenomena permukaannya hampir serupa dengan kejadian semburan liar pemboran yang saya alami sendiri waktu bekerja di Kalimantan Timur sebagai wellsite geologist Huffco 1985. Demikian juga pendapat awal dari ahli2 geologi dari Lapindo sendiri yang waktu itu sempat kontak2an dengan saya, dan juga keterangan di website EMP (yang sekarang sudah dihapus) yang menyebutkan bahwa terjadi komunikasi dari lubang bor ke pusat semburan yang berjarak beberapa ratus meter dari BJP-1 waktu dilakukan penanggulangan tekanan dari sumur. Pendapat tersebut kemudian diformalkan pertama kali dalam bentuk publikasi oleh Richard Davies dkk (2007) dalam jurnal GSA Today 17 (2): 4.
Seiring dengan waktu, geologist2 di Lapindo-pun mulai mengubah pandangannya. Bersama dengan geologist terkemuka dari BPMigas, dari Oslo dan Jepang yang difasilitasi untuk melakukan peninjauan – riset di daerah semburan dan sekitarnya, keluarlah publikasi-publikasi tandingan yang menyebutkan bahwa gempa, kematangan tektonik, dan – secara spesifik- gerak patahan mendatar yang menekan di daerah Porong lah yang menyebabkan munculnya gunung lumpur tersebut.
Seiring dengan waktu juga, sampai sekarang saya masih berpendapat bahwa proses pemboran di BJP-1 merupakan pemicu dari munculnya gunung lumpur Lusi, sejalan dengan argumen2 yang dipaparkan Davies dkk, dan juga pengamatan yang saya lakukan pada real time drilling charts yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian ke saya 2007-2008.

MEMATIKAN SEMBURAN?

Usaha teknis untuk mematikan semburan LuSi TIDAK BISA dipisahkan dari penanganan masalah sosialnya. HARUS MENJADI SATU PAKET. Kalau tidak, maka jangan pernah berpikir untuk mematikannya. Kalau masalah sosial seperti pembayaran ganti rugi yg terkatung2 karena pemerintah sangat toleran terhadap performance janji Lapindo tidak diberesi maka dijamin segala usaha keteknikan yg akan dilakukan akan mengalami hambatan di lapangan. Itulah yang terjadi sekarang ini. Biarpun konon kabarnya SBY mendapat bisikan banyak pihak dr luar maupun dalam yg terinspirasi oleh keberhasilan penanganan blow out di Montara (NWShelf) dan Horizon (Gulf of Mexico) untuk mulai berpikir lagi soal mematikan sumber semburan LuSi, tetap saja dia sbg presiden tidak bisa lari dr kenyataan bahwa penanganan masalah sosial di LuSI sampai skrg masih amburadul. Makanya dr awal2 seperti ini sebelum sang presiden dipengaruhi oleh banyak pihak untuk grusa-grusu mengadopsi keberhasilan kill well di NWShelf maupun GOM untuk LuSI, saya teriakkan ke mana-mana: beresi juga ganti rugi dan masalah2 sosial lainnya (pemindahan penduduk, pendidikan, jalan raya macet dsb). Jangan cuma fokus ngomong tinggi2 soal teknisnya. Biarlah masalah teknis dibicarakan dan direncanakan ahlinya, tapi masalah sosial harus dikawal dan dipaksakan sesegera mungkin untuk diberesi, supaya nantinya usaha teknis ini diridhloi dan tdk mendapat gangguan masyarakat
Berdasarkan kesepakatan teknis saintifik yg sdh bebrapa kali dibahas di level asosiasi profesi maupun dikalangan ahli lembaga2 pemerintah, disebutkan bahwa usaha teknis pertama yg hrs dilakukan dlm rangka menuju ke perencanaan killing source (bukan well, krn wellnya sudah tidak kliatan lagi?) dr LuSi ini adalah akusisi data seismik 3D dengan disain khusus spt yg sdh didisain oleh kawan2 BPPT dan Elnusa dan sdh diendorse oleh forum2 IAGI maupun HAGI dlm berbagai kesempatan dlm 2 tahun terakhir ini. Akusisi data baru ini menjadi sangat crucial krn akan memberikan gambaran baru tentang kondisi bawah permukaan dalam di bawah LuSi yg selama ini cuma bisa dikira2 saja oleh berbagai kalangan, termasuk oleh para drilling engineer yg mencoba merencanakan drilling program mematikan sumur BJP-1 (mrk menggunakan data2 engineering dr pemboran BJP-1, tp masih perlu dikuatkan oleh data terbaru 3D seismik untuk konfirmasi).
Integrasi data dan interpretasi 3D seismik baru tsb mutlak harus dilakukan dg data engineering dar BJP-1 maupun Relief well sesudahnya dan juga dr data geologi geofisik permukaan dangkal yg diakuisisi dalam 4 tahun erakhir ini.
Khusus untuk asosiasi profesi seperti IAGI, HAGI, dan IATMI, dimohon untuk tidak berat sebelah dalam mengungkapkan berbagai data teknis dan interpretasinya, jangan mengulang kesalahan2 sebelumnya yang hanya memihak pada satu sisi pendapat para ahli tertentu saja, padahal secara nyata berkembang argumen2 counter dr pendapat2 tersebut. Biarkanlah kedua-dua pendapat tersebut berkembang karena line of reasoning dr masing2 bisa jadi akan bermanfaat bagi rencana penanggulangan mematikan semburan ini nanti. Biarlah nanti di level pengambilan keputusan melakukan excercise yg disebut sbg: “probability atau uncertainity management”, yaitu mengambil keputusan berdasarkan ketidakpastian dr berbagai teori penyebab maupun kondisi situasi bawah permukaan-permukaan LuSi. Tentunya dalam sekuen pengambilan keputusannya terkandung azas manfaat lebih banyak drpd mudharat.

SAAT INI

Saat ini upaya untuk melihat sejauh mana kerusakan subsurface dg survei seismik 3dimensi sdg dlm tahap perencanaan, disain, sosialisasi, dan tender. Survei seismik 3D ini dibawah koordinasi dan bujet Badan Geologi ESDM, dibantu sukarela oleh IAGI/HAGI; harapannya:akhir 2011 image subusrface baru sdh ada, sehingga:
  • 1) Pihak2 yg merasa bhw semburan bisa dimatikan dg pemboran atau teknis lainnya bisa mengkongkritkan usulan dengan data bawah permukaan yg lebih jelas, bukan hanya asumsi2 saja (yg seringkali satu dg lainnya juga berbeda2), atau malah bisa juga membatalkannya krn melihat damage-nya sdh multi bidang, bkn hanya bidang tunggal; jadi “cost benefit”nya tidak matched
  • 2) Dapat dibuat analisis prediksi modeling subsidence/penurunan tanah, sampai di surface area mana kemungkinan terjadi kerusakan & seberapa tingkat bahayanya sehingga bisa dibuat peta resiko – zonasi yg baru – yg lebih update berdasar data subsurface, yg tdk hrs tiap thn diganti dg perpres spt selama ini terjadi.
  • 3) Ganti-rugi dan atau pemindahan penduduk untuk rencana pengelolaan jangka panjang area tsb menjadi “once for all” solution kalau menggunakan hasil no.2 di atas
Usulan saya: sudah saja semua penduduk yg terdampak di sekitar daerah tersebut ditambah dengan yang dr survei tim independen Provinsi Jatim tahun lalu dan dari hasil evaluasi hazard 3D nanti, semua diganti-rugi sampai selesai dg menggunakan duit yg ada (pinjaman dr pemerintah (?) yg nanti dibebankan pd Lapindo dan atau pengelola berikutnya)
Kemudian, daerah yang ditinggalkan dikelola oleh badan khusus (otorita?) untuk riset, wisata, maupun kegiatan eksplorasi lainnya bila memungkinkan…
Sangat mungkin nantinya bisa dilakukan lagi eksplorasi dan eksploitasi potensi cadangan migas di bawah daerah semburan lumpur tersebut. Karena probabilitas kehadiran cadangan migas (terutama gas) sangat besar disini. Lapindo atau siapapun yang berminat membantu pemerintah membereskan urusan ganti rugi dan evakuasi massal ini mungkin bisa berharap menghitung-hitung return dari investasi sosialnya saat ini.
Jakarta, 23 Mei 2011
ADB

Masyarakat Sekitar Diminta Waspadai Tanggul Lumpur Lapindo

Nasional / Minggu, 18 September 2011 17:18 WIB
(Foto Antara)
Metrotvnews.com, Sidoarjo: Pemerintah Provinsi Jawa Timur meminta kepada warga masyarakat mewaspadai tanggul penahan lumpur Lapindo menyusul terjadinya longsoran lumpur di dalam kolam penampungan. Saat ini segala kewenangan terhadap segala kemungkinan yang ada di tanggul penahan lumpur menjadi beban Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
“Segala bentuk teknis terkait dengan kondisi di tanggul penanggulangan lumpur tersebut menjadi tanggung jawab BPLS yang memahami kondisi di lapangan,” kata Wakil Gubernur Jawa Timur, Saifulah Yusuf di Sidoarjo usai menghadiri peringatan Hari Jadi ke-13 Partai Amanat Nasional (PAN) di salah satu hotel di Sidoarjo, Ahad (18/9).
Ia mengemukakan, terkait dengan kondisi di Jalan Raya Porong, dirinya mengaku masih belum perlu dilakukan penutupan, mengingat kondisi tanggul masih cukup bagus. “Kami menyerahkan sepenuhnya kepada BPLS terkait diperlukan atau tidak penutupan Jalan Raya Porong pascaterjadinya longsoran lumpur di dalam kolam penampungan,” katanya.
Sementara itu BPLS terus melakukan proses peninggian tanggul penahan lumpur di kawasan Siring pascaterjadinya longsoran lumpur di dalam kolam penampungan. Peninggian tanggul dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya luberan lumpur dari kolam penampungan menyusul ketinggian tanggul yang hanya sebelas meter.
Peninggian itu dilakukan dengan menggunakan tiga alat berat yang ditempatkan di lokasi tanggul penahan lumpur. Selain melakukan peninggian tanggul, BPLS juga melakukan sudetan di dalam kolam penampungan lumpur untuk mengalirkan lumpur ke lokasi lain yang masih memungkinkan.
Dengan demikian beban lumpur yang berada di kolam penampungan di kawasan Siring yang mengalami longsoran bisa berkurang dan tidak membahayakan Jalan Raya Porong.(Ant/BEY)

Lumpur Lapindo Dapat Dikategorikan Sebagai Bencana Alam

Jakarta (ANTARA News) – Semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang telah menimpa lebih dari 1.200 jiwa, sudah dapat dikategorikan sebagai bencana alam, karena fakta di lapangan terdapat banyak titik semburan yang jauh dari lokasi pengeboran.

“Titik-titik semburan itu tampaknya terus meluas, sekitar 2 km dari lokasi pengeboran, sehingga luapan lumpur di Sidoarjo dapat dikategorikan sebagai bencana alam,” kata Direktur Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam BBPT, Yusuf Surachman, di Jakarta, Sabtu.
Menurutnya, semburan Lumpur Panas Sidoarjo (LUSI) merupakan sebuah fenomena alam yang perlu disikapi secara wajar. Jarang terjadi kejadian dalam suatu pengeboran minyak dan tambang, kemudian keluar lumpur dari lapisan bawah tanah yang cukup tebal yang berisi lempung (shale) bertekanan tinggi dari tekanan hidrostatis dan terus bergerak (mobile) yang temperaturnya mencapai 100 derajat celcius di permukaan, dan keluar terus menerus. Hal itu baru saya lihat di Sidoarjo, katanya.
Para ahli geologi dan geofisika juga berksimpulan bahwa lumpur panas Sidoarjo berasal dari batuan gunung api dengan temperatur dan tekanan tinggi berumur sekitar 4,9 juta tahun dan diendapkan pada lingkungan laut.
Dikatakannya para ahli itu juga sepakat untuk mengatakan semburan lumpur panas tersebut merupakan proses pembentukan “mud vulcano”, yang semburannya akan terus berjalan dan bertambah dan tidak akan berhenti dalam waktu singkat.
“Semburan itu akan terus berjalan karena di dalam lapisan bumi sepertinya ada gunung lumpur yang bercampur dengan gas dan fluida,” katanya.
Dari data seismik, yang kemudian dihitung, katanya, total volume lumpur secara keseluruhan diperkirakan sebesar 1.55 miliar m3 . Apa bila debit semburan lumpur diperkirakan sebesar 100.000 m3 per hari, maka semburan lumpur di Sidoarjo akan berhenti setelah 31 tahun.
“Waktu berhenti cukup lama jika tidak ada upaya yang lebih sistematis, karena tergantung juga tekanan hidrostastiknya,” katanya, seraya menambahkan pada akhirnya akan terjadi subsidance (penurunan permukaan tanah) di sekitar pusat semburan lumpur yang terjadi secara terus menerus itu.
Masalah penanggulangan
Menjawab pertanyaan, ia mengemukakan untuk menanggulangi ada beberapa pilihan, yakni memanggil para ahli geologi dan geofisika untuk mempercepat penghentian semburan, mengalirkan lumpur-lumpur itu ke laut untuk meminimalisasi korban manusia yang lebih besar dan melakukan rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur yang rusak agar dapat normal kembali, seperti pembuatan jalan dan jembatan yang rusak.
Sementara itu, anggota tim nasional penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo, Sofyan Hadi menambahkan pihaknya membuka seluas-luasnya kepada masyarakat yang mempunyai ide terbaik dalam penanggulangan bencana alam itu. Akan tetapi lanjutnya, ide yang masuk kedalam tim nasional itu sulit untuk diimplementasikan.
Dicontohkannya, ada pihak asing ( konsultan dari Russia .. red) mengajukan proposal untuk menghentikan semburan lumpur. Ketika ditanya berapa banyak biochemical (zat kimia) yang harus diinjeksikan kedalam bumi untuk mengempalkan lumpur itu, bagaimana mendistribusikannya zat itu dan adakah jaminan setelah biaya dikeluarkan terjadi kegagalan.
Lumpur Lapindo: Melihat Bencana Alam dalam Bingkai Budaya?
Oleh : R Muhammad Mulyadi.S.S.,M.Hum
Kajian mengenai peristiwa lumpur Lapindo banyak dibahas dari segi geologi,
ekonomi, hukum, sosial, dan politik. Hampir tidak ada kajian lumpur Lapindo dari
segi budaya. Memang masalah lumpur Lapindo banyak berkaitan dengan masalahmasalah
di luar budaya. Akan tetapi peristiwa lumpur Lapindo sebenarnya juga dapat
dilihat dari sisi budaya. Beberapa kajian budaya yang berkaitan dengan bencana alam
di antaranya adalah mengenai; pandangan masyarakat mengenai sebab-sebab
terjadinya bencana alam, serta pandangan masyarakat Jawa (sebagai korban)
terhadap tanah dan tempat tingalnya.
Selain itu, selama ini pencegahan bahaya bencana alam dan penanganan
pasca bencana juga lebih banyak dibahas oleh bidang kajian non-budaya. Kemudian
muncul pertanyaan, apakah sumbangan kajian budaya dalam menangani bencana
alam?
Pandangan Masyarakat Mengenai Sebab-sebab Bencana
Sebelum “sepakat” ditulis dengan istilah lumpur Lapindo dalam berbagai
media massa, istilah untuk bencana alam meluapnya lumpur yang terjadi di
kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo sering disebut media massa sebagai Lumpur
Sidoarjo. Disingkat dengan Lusi. Penulisan bencana tersebut dengan istilah lumpur
Sidoarjo, menyatakan bahwa tempat terjadinya bencana lumpur lebih penting
daripada penyebab terjadinya bencana tersebut. Dengan kata lain, penulisan tersebut
telah menomorduakan penyebab bencana yaitu PT Lapindo Brantas. Sementara itu,
penulisan lumpur Lapindo lebih mengutamakan penyebab terjadinya bencana
tersebut. Dalam tulisan ini menggunakan istilah lumpur Lapindo dengan alasan ingin
menekankan bahwa bencana tersebut merupakan sesuatu yang disebabkan oleh
kelalaian manusia. Dalam hal ini adalah PT Lapindo.
Dalam sejarah, kepercayaan masyarakat Indonesia mengenai terjadinya suatu
bencana alam lebih sering dipandang sebagai sesuatu peristiwa yang disebabkan oleh
ulah manusia yang melanggar tabu atau sering berbuat dosa. Sang Pencipta
kemudian menurunkan bencana sebagai suatu bentuk hukuman atau peringatan
karena manusia sudah tidak menghiraukan larangannya. Bentuk bencana pada
umumnya dapat berupa banjir, gunung meletus, kecelakaan, dan wabah penyakit.
Akan tetapi, dalam kepustakaan sejarah Indonesia belum ditemukan bahwa Sang
Pencipta “menghukum” umatnya dengan banjir lumpur. Terlebih oleh lumpur yang
muncul dari dalam tanah, bukan yang disebabkan oleh banjir, luapan dari sungai,
atau lava yang disebabkan ledakan gunung berapi. Dengan demikian, apabila
peristiwa Lapindo ini dianggap sebagai suatu hukuman atau peringatan dari Sang
Pencipta, maka inilah hukuman yang bersejarah bagi umat manusia di Indonesia.
Pandangan masyarakat Indonesia mengenai bencana alam di atas penulis
sebut sebagai suatu pandangan yang bersifat agamawi. Sang Pencipta atau kekuatan
di luar manusia lah penyebab segala sesuatu bencana di muka bumi ini.
Akan tetapi, pandangan tersebut bukanlah satu-satunya pendapat yang
mewakili pandangan masyarakat Indonesia. Pandangan lainnya dalam melihat
bencana alam adalah disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh manusia.
Artinya, manusia lah penyebab dari segala bencana alam yang terjadi. Hal itu
disebabkan oleh kelalaian manusia dalam menjaga kelestarian, keseimbangan alam
atau merusak alam secara tanpa sadar, sengaja, atau bahkan terstruktur. Pandangan
ini penulis sebut sebagai gejala duniawi. Bukan “kutukan” atau cobaan sang
Pencipta, tetapi manusia sendiri lah penyebabnya. Sesuatu yang dapat diterangkan
akal sehat yang dicari, bukan berdasarkan keyakinan atau sistem kepercayaan
semata.
Pada beberapa kasus bencana alam yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini,
seperti bencana tsunami di Aceh dan Nias, gempa bumi di Yogyakarta dan banjir di
Jakarta menampakkan bahwa pandangan sebagian masyarakat Indonesia mengenai
bencana alam telah bergeser dari unsur agamawi menjadi lebih ke unsur duniawi. Hal
itu terlihat dari munculnya berbagai analisis ilmiah yang muncul di berbagai media
massa elektronik dan cetak yang mencoba menjelaskan sebab-sebab terjadinya suatu
bencana alam.
Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah semakin rasional.
Meskipun demikian, unsur-unsur agamawi tidak sepenuhnya hilang. Masih nampak
hal-hal yang menandai unsur-unsur agamawi dalam melihat kasus lumpur Lapindo.
Dalam kasus lumpur Lapindo pandangan masyarakat yang duniawi dan
agamawi nampaknya berjalan beriringan. Dalam pandangan duniawi bencana
semburan lumpur disebabkan oleh kelalaian dalam pengoperasian ladang gas. PT
Lapindo Brantas sebagai pengelola, lalai memasang cashing pengaman. Bukan
disebabkan gempa di Yogyakarta dan sekitarnya dengan kekuatan 6,2 skala richer,
yang terjadi beberapa waktu sebelum bencana lumpur Lapindo terjadi. Dalam
pandangan agamawi atau lebih khusus di sini ditekankan sebagai unsur kepercayaan
terhadap sesuatu yang berupa ramalan, maka muncul pula pandangan bahwa inilah
suatu titik mula pulau Jawa akan terpecah menjadi dua. Persis ramalan seorang tokoh
para normal yang dikutip di berbagai media.
Mengenai penyikapan terhadap bencana ini juga dapat dilihat dari sudut
duniawi dan agamawi. Dalam pandangan duniawi lumpur Lapindo terjadi akibat
kelalaian perusahaan, sehingga para korban berupaya meminta ganti rugi ke
perusahaan yang menyebabkan terjadinya musibah tersebut.
Dalam pandangan agamawi misalnya terlihat pada sholat Idul Fitri 1427 H
yang diikuti ratusan warga korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc di atas tanggul
penampungan di Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Senin pagi (23/10).
Dalam khotbahnya, KH Maksum Subaeri, seorang tokoh masyarakat dan salah satu
pimpinan pondok pesantren di Desa Jatirejo, mengajak seluruh warga korban luapan
lumpur Lapindo untuk senantiasa tabah menghadapi cobaan dari Allah SWT. "Semua
yang kita miliki adalah titipan Allah SWT dan kita serahkan semua kepada-Nya,"
ucap KH Maksum. Desa Jatirejo merupakan salah satu dari delapan desa di
Kecamatan Porong, Tanggulangin dan Jabon, Sidoarjo yang paling parah terkena
dampak luapan lumpur Lapindo1.
1 EL. Suasana Haru Warnai Sholat Ied Korban Lumpur Lapindo. http://www.gatra.com/2006-10-
24/artikel. php?id=98896. 24 Oktober 2006.
Sikap Masyarakat
Keterikatan masyarakat Jawa dengan tanahnya dapat direpresentasikan
melalui salah satu pepatahnya mengenai kedudukan tanah bagi orang Jawa. Pepatah
tersebut adalah sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati. Pepatah ini secara harfiah
berarti satu sentuhan dahi, satu jari (lebar)-nya bumi bertaruh kematian. Secara luas
pepatah tersebut berarti satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas
tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati).
Pepatah di atas sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah dan
kehormatan atau harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting.
Bahkan orang pun sanggup membela semuanya itu dengan taruhan nyawanya.
Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai
penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walapun luasnya
hanya selebar satu jari tangan. Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai
wanita/pria yang telah syah mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau
disentuh oleh orang lain. Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah
lambang kehormatan atau harga diri.
Artinya, keduanya itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau
tampak mata semata, tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu identik
dengan harga diri atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar, maka mereka akan
mempertaruhkannya dengan nyawa mereka.
Selain masalah kehormatan, tanah dan tempat tinggal merupakan lingkungan
budaya yang penting bagi masyarakat Jawa. Ikatan emosional terhadap lingkungan
budaya terutama di rasakan pada masyarakat pedesaan. Dengan keterampilan bertani,
desa merupakan tempat masyarakatnya mencari penghidupan, satu desa merupakan
wilayah tempat tinggal seseorang dan juga kerabat-kerabatnya. Leluhur mereka pun
di makamkan di dalam lingkungan desa. Tali puser (ari-ari) mereka tanam di desa.
Bagi masyarakat Jawa, tempat di tanamnya ari-ari dipercayai sebagai suatu tempat
yang akan selalu dirindukan. Kondisi-kondisi tersebut menjadi basis eksplanasi
kenapa masyarakat Jawa begitu kuat ikatannya dengan desa dan lingkungan yang
menjadi tempat tinggalnya. Hal itu pula yang dapat menjelaskan kenapa masyarakat
Jawa akan beramai-ramai pulang kampung bila ada kesempatan, terutama pada hari
raya. Tidak peduli betapa sulit perjalanannya dan memerlukan ongkos yang mahal.
Persoalannya dalam kasus lumpur Lapindo, tanah penduduk hilang bukan
karena dirampas atau diganggu oleh seseorang ataupun penguasa. Hilangnya tanah
pertanian dan tempat tinggal penduduk disebabkan kelalaian suatu perusahaan,
bukan karena akan mendirikan pabrik atau membangun jalan. Tetapi oleh sesuatu
yang dikategorikan musibah. Apabila hilangnya lahan mereka disebabkan oleh
bencana alam murni, mungkin mereka tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Bencana
alam yang muncul lebih disebabkan oleh kelalaian perusahaan. Akibatnya,
pandangan orang Jawa mengenai sadhumuk bahtuk ini masih terlihat dalam kasus
lumpur Lapindo. Karena dianggap ada pihak yang telah mengganggu tanah dan
tempat tinggalnya. Memang tidak memperlihatkan aksi balas dendam karena
kehormatannya merasa terganggu, tetapi ketabahan dan keuletan mereka dalam
meminta ganti rugi menampakkan pandangan sadhumuk bathuk tersebut. Berbagai
upaya mereka jalani agar hak mereka atas tanah dapat diganti, mulai dari unjuk rasa
ke PT Lapindo Brantas, Bupati Sidoardjo. Bahkan mereka tidak segan untuk
meminta perhatian dan bantuan pemerintah pusat dengan langsung mendatangi
presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun berupaya dihalang-halangi oleh
aparat kepolisian.
Sebagian masyarakat Porong menyadari bahwa akan muncul kesulitan
apabila mereka tetap mengharapkan keadaan tanah dan tempat tinggalnya dapat
kembali ke keadaan sebelum terjadinya bencana. Seandainya luapan lumpur berhenti
pun, pemetaan kembali wilayah bukan masalah yang mudah. Karena kondisi wilayah
Porong-Sidoradjo saat ini telah menjadi lautan lumpur. Akan tetapi, karena ikatan
budaya seperti yang dijelaskan di atas masih ada sekelompok masyarakat yang
masih mengharapkan untuk dapat menempati tempat tinggalnya kembali.
Memperhatikan hal tersebut, nampaknya perlu dilihat bahwa wilayah Porong-
Sidoarjo bukanlah homogen. Ada wilayah pertanian dan ada juga wilayah industri.
Wilayah pertanian meliputi desa-desa dan wilayah industri meliputi pinggiran kota.
Meskipun tidak dilakukan penelitian mendalam mengenai pilihan masyarakat di
kedua kelompok tersebut, melalui pengamatan selintas dapat diketahui bahwa
kelompok masyarakat pedesaan lebih memilih untuk mencoba bertahan daripada
kelompok masyarakat pinggiran kota. Selain alasan budaya, masyarakat pedesaan
mencoba bertahan karena alasan mencari lahan pengganti untuk pertanian tidaklah
mudah. Oleh karena itu mereka bergotong royong untuk membuat tanggul penahan
lumpur atau mengalihkan aliran lumpur. Sementara bagi masyarakat yang tinggal di
wilayah industri dan mata pencahariannya berkaitan dengan industri, akan lebih
mudah meninggalkan tempat tinggalnya. Dengan harapan dapat menemukan
kesempatan kerja di wilayah lain, meskipun kesempatan kerja sangat terbatas. Kalau
tidak dikatakan sangat sulit.
SatuDunia, Jakarta. Jika COP 17 masih menyepakati skema offset, maka 65% upaya reduksi emisi akan menjadi tanggung jawab negara berkembang, termasuk Indonesia

Konferensi Perubahan Iklim Dunia (COP) 17 di Durban, Afrika Selatan, pada 28 November – 9 Desember 2011 nanti dikhawatirkan akan menjadi ajang pemerintah Indonesia untuk menggalang pendanaan iklim dari skema utang dan proyek-proyek iklim yang mengarah pada skema offset dan mengancam keselamatan warga serta lingkungan. Upaya ini hanya akan menjauhkan upaya Indonesia dari prinsip-prinsip keadilan iklim.
Sejak 1992,  sekitar 154 negara yang menghadiri KTT Bumi di Rio de Jeneiro, Brazil sepakat menandatangani Konvensi Perubahan Iklim, yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK). Negara-negara penghasil GRK (Negara Annex-1) diwajibkan memikul tanggung jawab lebih dalam penanggulangan perubahan iklim, yang dituangkan dalam Protokol Kyoto.
Sayangnya sejak Protokol Kyoto disepakati pada 16 Februari 2005, tidak nampak kemajuan berarti yang memberikan manfaat bagi warga. Sebaliknya, emisi GRK dari negara-negara Annex-1 terus menanjak.
Padahal pada 16 Februari 2012, komitmen pertama berlakunya Protokol Kyoto, akan berakhir. Namun emisi karbon justru makin meroket hingga 45 % antara tahun 1990 hingga 2010, dan mencapai rekor tertinggi sebesar 33 miliar ton pada 2010.
Akibatnya, musim tak tentu, gelombang laut yang tinggi, juga bencana yang makin kerap datang banyak berkait dengan krisis iklim. Kiara mencatat sebanyak 68 nelayan meninggal dunia di laut akibat cuaca ekstrem pada periode Januari - September 2010. Bahkan sejak Januari 2011 terdapat 550 ribu nelayan di 53 kabupaten/kota berhenti melaut karena cuaca ekstrim. Belum lagi petani yang menghadapi ketidakpatian musim juga hama tanaman baru yang berkait dengan krisis iklim.
Sayangnya respon Indonesia membuat warganya makin rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam negosiasi-negosiasi Iklim Indonesia justru melemah memperjuangkan keadilan iklim. Prinsip Keadilan Iklim, yaitu keselamatan warga, utang ekologis, hak atas lahan dan pola yang adil dalam produksi dan konsumsi, justru ditinggalkan pemerintah. Tak heran, jika kemudian Indonesia membuka pintunya lebar untuk proyek-proyek penurunan emisi, yang berpotensi 0ffset . Pembicaraan skema offset ini akan menjadi agenda COP 17 Durban.
Jika COP 17 menyepakati skema offset, maka 65% upaya reduksi emisi akan menjadi tanggung jawab Negara berkembang.  Indonesia akan menderita ganda, sebagai Negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, juga Negara yang dikorbankan mencuci dosa negara-negara industri yang mencemari atmosfer bumi.
Skema offset ini berpotensi dilakukan pada proyek-proyek mitigasi. Projek-proyek mitigasi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan Indonesia belum siap menghadapi perubahan Iklim global.  Kecenderungannya, projek uji coba mitigasi justru memperburuk kondisi masyarakat.  Misalnya, 9 November 2011, KFCP, salah satu proyek uji coba unggulan mendapat kritik karena tidak menepati janji, termasuk tenggat waktu yang mereka janjikan.
Harusnya pemerintah menghentikan penggalangan dana iklim melalui skema utang. Saat ini, sekitarUS$ 2,9 Milyar pendanaan iklim berasal dari skema utang.  Hasil penelitian WALHI tentang tata kelola pendanaan iklim di sektor kehutanan menunjukkan hanya pemilik modal yang diuntungkan dengan skema-skema yang dikembangkan. Menjadi pertanyaan besar, proyek-proyek mitigasi yang jumlahnya  lebih dari dua lusin di Indonesia sesuai peruntukkannya dan  bermanfaat mengurangi emisi. Khususnya jika dikaitkan dengan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan yang bergantung hidupnya dari hutan.
Sementara sebagai negara kepulauan, upaya adaptasi mestinya menjadi agenda utama yang diperjuangkan Indonesia dalam dua tingkatan. Di tingkat global, melalui COP 17, menghentikan upaya mekanisme perdagangan karbon, seperti inisiatif”Karbon Biru” yang disokong UNEP,FAO,IUCN, CSIC dan IOC/UNESCO. Kedua, di nasional, negara segera menghentikan praktek pembangunan tak ramah lingkungan, seperti reklamasi pantai, konversi hutan mangrove untuk perluasan perkebunan sawit dan industri pertambakan, serta pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang merampas ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat, baik di darat maupun di laut yang berujung kian terancamnya keselamatan warga oleh bencana.
COP 17 di Durban harusnya menjadi Forum menemukan solusi dan formulasi yang tepat mengurangi efek gas rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global dan menghadapi dampak perubahan iklim. Namun, jika pendekatan yang dilakukan di atas tak berubah, maka sudah tentu jalan sesat yang akan ditawarkan, solusipun hanya akan jadi dongeng belaka.

Pemerintah Indonesia haru segera mengumumkan terbuka delegasi dan agenda yang diperjuangkan pada negosiasi COP 17. Indonesia harusnya bersikap tegas dan memimpin negara-negara selatan memperjuangkan prinsip-prinsip keadilan iklim.
Sumber : Release Media WALHI, KIARA dan Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF), 24 November 2011
SatuDunia, Jakarta. Maraknya reklamasi pesisir pantai Indonesia membuat  masa depan lingkungan pesisir dan kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut makin runyam

Saat ini nasib pesisir Indonesia menghadapi ancaman serius. Reklamasi pantai yang mengancam keseimbangan alam serta menyingkirkan nelayan dari ruang hidupnya makin masif dilakukan. Di pulau Jawa, reklamasi terjadi di Jakarta, Semarang dan Pantai Kenjeran Suarabaya. Di luar pulau Jawa juga marak. Seperti pembangunan Padang Bay City di Sumatera Barat, juga di Teluk Lampung.
Di kawasan tengah dan timur Indonesia,  reklamasi terjadi diTeluk Balikpapan, Kalimantan Timur; Pantai Losari dan Pantai Buloa, Sulawesi Selatan; Pantai Kalasey dan Teluk Manado di Sulawesi Utara; Teluk Tolo dan Palu, Reef Tiaka dan Bahodopi hingga jalan lingkar Kota Toli-Toli dan Palu Donggala di Sulawesi Tengah; Teluk Kendari, Teluk Bau-Bau, dan Menui, Kepulauan Sulawesi Tenggara; dan, kawasan Pantai Manakara di Sulawesi Barat.
Juga di Pulau Serangan dan Pantai Mertasari, Bali; Pulau Ternate dan Tidore, Maluku Utara; pelabuhan tambang PT. NNT Tanjung Luar NTB; dan Teluk Kupang, NTT. Dan yang sedang direncanakan di Teluk Kendari, penimbunan sempadan pantai untuk kebutuhan pelabuhan pertambangan, rencana reklamasi Pantai Ampenan dan pembangunan Mandalika Resort di Nusa Tenggara Barat.
Proyek reklamasi ini didukung oleh paket Kebijakan, yakni: UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing; UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang; UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Diperluas melalui upaya pencabutan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pembaruan Agraria yang tegas menjamin hak demokratis rakyat atas sumber-sumber agraria dengan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Reklamasi pantai telah mengubah bentang alam dan aliran air  di kawasan tersebut. Potensi banjir akibat proyek reklamasi itu akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut (rob) dan ancaman dampak perubahan iklim.
Dampak sosial ekonomi yang paling terasa adalah intimidasi dan pengusiran terhadap nelayan di seluruh wilayah yang terkena proyek reklamasi. Nelayan tradisional tergusur dari sumber-sumber kehidupan dan hilangnya akses nelayan melaut—berujung pada meningkatnya kantong-kantong kemiskinan di kawasan kota-kota pesisir. 
Pemerintah saat ini tidak mempunyai kepedulian akan masa depan lingkungan pesisir dan kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Sikap pembiaraan pemerintah terhadap pelaku kejahatan lingkungan di perairan pesisir makin sering terjadi. Pencemaran limbah di pesisir kota terus terjadi secara masif dan tidak pernah ditanggunglangi secara secara serius.
Dalam catatan KIARA, Sedikitnya 23.281.799 ha perairan di Indonesia terpapar limbah yang memicu matinya biota laut dan hilangnya ikan. Hal ini diperparah dengan kerusakan hutan bakau yang terjadi hampir di semua pesisir, dan berdampak pada sulitnya nelayan untuk mendapatkan hasil tangkap yang maksimal.
Masyarakat Sipil mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menolak Kebijakan perampasa ruang rakyat dan reklamasi pantai Indonesia. []