Minggu, 25 Desember 2011

KEJADIAN BENCANA DAN KESIAPAN MASYARAKAT

Akhir-akhir ini peristiwa bencana sering menimpa negeri ini, semua pihak merasa terkejut dengan rentetan kejadian bencana, diawali dengan Gempa Bumi yang diiringi gelombang tsunami di Nangroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara yang terjadi tanggal 26 Oktober 2004, merenggut nyawa berkisar 240.000 orang meninggal dan hilang, dari laporan Overseas Development Institute (ODI) tahun 2005, total kerugian finansial dan ekonomi dari bencana tsunami mencapai US$ 4,45 miliar atau sekitar Rp. 40 triliun atau sekitar 1,2 persen dari total PDB tahun 2006 , tanggal 6 Januari 2006 terjadi banjir Bandang dan tanah Longsor di Jember Jawa Timur dan Banjarnegara Jawa Tengah, tanggal 27 Mei 2006 Gempa Bumi yang terjadi di Daerah Istimewa Jogyakarta dan Jawa Tengah yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia, dari catatan Bappenas tahun 2006, kerugian finansial dan ekonomi akibat gempa bumi di Yogjakarta sebesar Rp 29,1 triliun, angka tersebut meliputi total kerusakan aset pemerintah, dunia usaha dan warga. Tanggal 2 Februari 2007 air menggenangi Ibukota Jakarta dan wilayah Jabodetabek setinggi 1 sampai 5 Meter, yang mengakibatkan ribuan rumah warga ibukota Jakarta dan wilayah Bekasi dan Tangerang terendam, dengan total kerugian finansial dan ekonomi akibat banjir berdasarkan perhitungan Bappenas mencapai Rp 8,8 triliun, tanggal 6 Maret 2007 terjadi Gempa Bumi di Sumatera Barat yang meluluhlantakkan pemukiman penduduk yang berakibat ratusan jiwa meninggal dan ribuan rumah rusak serta tanggal 10 September 2007 Gempa Bumi menghantam Provinsi Bengkulu dengan kekuatan 7,9 skala richter. Dari rangkaian kejadian tersebut membuktikan bahwa wilayah kepulauan Indonesia rentan terhadap kejadian peristiwa alam yang dinamakan bencana alam.

Melihat kondisi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki geografis, geologis, hidrologis dan demografis Indonesia yang memungkinkan terjadinya bencana,baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.Selain itu secara kultural, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras dan golongan, maka Indonesia sangat potensial terjadinya bencana yang disebabkan oleh karena ulah manusia termasuk kerusuhan sosial.Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu potensi utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency), potensi utama dapat dilihat dari peta rawan bencana yakni kita memiliki zona-zona rawan gempa, banjir dan terjadinya banjir bandang maupun tanah longsor, sedangkan potensi bahaya ikutan antara lain kepadatan pemukiman penduduk, prosentase bangunan yang terbuat dari kayu sangat tinggi utama diperkotaan atau yang dikenal dengan daerah kumuh diperkotaan.

TIPICAL KORBAN BENCANA

Melihat beberapa peristiwa bencana yang menimpa beberapa daerah yang terkena musibah, banyak hal yang dapat penulis dapatkan dari pengalaman melaksanakan misi kemanusiaan untuk membantu korban bencana, baik dari segi karakteristik masyarakat maupun ketahanan mental masyarakat menghadapi musibah, sebagai ilustrasi saat terjadi bencana dan pasca bencana hampir seluruh masyarakat Aceh termenung seakan tak percaya dengan kejadian yang hanya 15 menit dapat menghancurkan sebagian wilayah Meulaboh, Kota Banda Aceh, Syah Kuala, Loknga dan kawasan pesisir Aceh, tatapan hampa terlihat dari raut wajah para pengungsi, tetapi dengan ketegaran jiwa dan dukungan serta simpati masyarakat dari belahan dunia ini rakyat Aceh bangkit menatap masa depan yang lebih cerah .

Penduduk Jogjakarta dan Jawa Tengah terlihat sabar dan nerimo terhadap peristiwa alam yang menimpa dirinya melalui ungkapan ya, mau gimana lagi mas, wong kita hidup ini ada yang maha mengatur, masyarakat Sumatera Barat sangat tegar menghadapi ujian dari Allah, ini terlihat dari kegigihan dan tidak larut dalam kedukaan, kito dirantaupun sudah biaso menghadapi rintangan seperti ini, warga Bengkulu khususnya di daerah Kecamatan Batiknau Bengkulu Utara begitu panik dan kalut, sehingga secara spontan ratusan warga dengan membawa senjata tajam, kayu dan bambu menunjukkan reaksi negative dengan cara menghadang kendaraan bantuan serta kendaraan pejabat pemerintah yang nomor polisi berwarna merah, bahkan membuat rintangan dijalan berupa pemasangan kayu balok, seng, kursi demi mengharapkan bantuan dari para dermawan, sehingga kendaraan yang lewat harus terlebih dahulu bernegosiasi sembari berujar kami ini korban gempa juga, jangan kendaraan lewat saja dan kami tidak dibantu, apa bedanya kami dengan masyarakat di Kabupaten Muko-muko.

Dari Sidoarjo akibat semburan lumpur panas yang tak kunjung henti, terbetik jeritan pilu dari warga seperti terlontar dari seorang ibu Sowi warga desa Siring yang menangis tersedu-sedu sambil berujar ” Saya telah kehilangan rumah, perabotan, kulkas, mesin cuci, saya telah kehilangan semua yang saya miliki selama ini, yang diikuti warga lainnya. Harta yang kami kumpulkan bertahun-tahun musnah oleh semburan dan genangan lumpur, kami tidak butuh janji-janji, kami butuh kepastian, kami kedinginan, tidur seadanya, demikian juga Pak Solihin seorang purnawirawan tak kuasa membendung duka yang dialaminya sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya dan mata yang berkaca-kaca. Beban psikologis tampak terasa amat berat dirasakan oleh para korban dan anak-anak yang sedang ditenda pengungsian sebagai tempat penampungan sementara sembari menunggu kepastian yang tak kunjung tiba. Tampak dari beberapa titik bahwa terlihat jelas beberapa pabrik tempat mereka mencari nafkahpun ikut terendam oleh lumpur panas. Kami tidak tahu sampai kapan harus bertahan disini.

Berpijak dari rangkaian kejadian tersebut, secara antisipatif mari kita selalu siap, siaga dan sigap untuk menghadapi kejadian bencana, yang notabene sudah menjadi bagian dari siklus kehidupan masyarat Indonesia, hal ini beranjak dari berbagai pengalaman yang pernah kita lihat, kita rasakan dan kita saksikan selama ini. Sikap mental yang tangguh sangat menentukan percepatan pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena musibah, sikap tawakal dan menganggap peristiwa alam adalah konsekuensi dari hidup saling membutuhkan antara manusia , alam dan seisinya. Perilaku yang bijak serta bertawakal kepada Allah mutlak harus tertanam didalam hati sanubari setiap insan dalam menyikapi peristiwa alam yang terjadi. Manusia terkadang lupa, apa yang diperbuat dimuka bumi ini merupakan investasi sosial yang diimplementasikan dalam bentuk akumulasi tindakan dan perbuatan yang akan berimbas pada hasil yang akan diterimanya selama hidup bersinergi dengan alam.

Untuk memperkuat kesiapsiagaan itulah perlu adanya semacam personel penanggulangan bencana yang berbasis masyarakat, seperti halnya TAGANA.
Bencana Ekologi Sebagai Dampak Perubahan Iklim Global dan Upaya Peredaman Risiko Bencana
DREaM - 05.06.2009,
BENCANA EKOLOGIS SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN UPAYA PEREDAMAN RISIKO BENCANA

Oleh Petrasa Wacana
Abstrak

               Pemanasan global menjadi isu utama di dunia, merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh di dunia di abad 21, hal ini berdampak pada terjadinya kenaikan suhu di bumi, yang mengakibatkan hilangnya keseimbangan dalam siklus bumi, kenaikan suhu permukaan dan perubahan musim yang tidak dapat diprediksi. Perubahan iklim berdampak pada terjadinya bencana alam dimana-mana mulai dari badai topan, badai siklon tropis, banjir, endemic, kekeringan, El Nino, kelaparan, tsunami dan berbagai bencana lainnya yang mengakibatkan hilangnya fungsi ekosistem yang berdampak pada terjadinya bencana ekologis. Bencana terjadi akibat adanya faktor-faktor ancaman (hazard) berupa fenomena alam akibat pemanasan global dan adanya kerentanan (vulnerability) di dalam suatu masyarakat dalam menerima risiko bencana, untuk itulah perlu dilakukan upaya-upaya peredaman risiko bencana (disaster risk reduction) yang merupakan suatu kegiatan manajemen bencana untuk mengurangi risiko bencana dari dampak perubahan iklim global mulai dari sebelum bencana terjadi (mitigasi dan kesiaapsiagaan), saat terjadi bencana (emergency response) dan setelah terjadi bencana (recovery and rencana strategis).
Kata kunci : Pemanasan global, perubahan iklim, risiko bencana, ancaman, kerentanan, disaster management.


I. PENDAHULUAN
               Pemanasan global telah terjadi semenjak abad 20, mulai dari awal revolosi industri di negara-negara eropa, pemanasan global memberikan dampak terhadap perubahan iklim global sebagai akibat dari efek rumah kaca dan pemenuhan emisi gas CO2 di udara yang dapat mengakibatkan perubahan kondisi suhu golobal dan mempengaruhi kondisi siklus metereologi dan geologi, yang mengakibatakan bencana alam dimana kondisi terjadinya bencana memiliki hubungan dengan pemanasan global dan kenaikan muka air laut oleh karena adanya penambahan masa air laut akibat pencairan es di kutub yang ditimbulkan setiap tahunnya, terjadinya El Nino, banjir akibat faktor cuaca yang tidak menentu dan sering juga berbarengan dengan bencana longsor, badai tropis, dan badai siklon. Risiko bencana yang dapat ditimbulkan berupa hilangnya keberfungsiaan masyarakat, korban, kerugian material, kerusakan fisik dan kerusakan lingkungan. Dalam dua dekade ini telah terjadi pertumbuhan penduduk di dunia yang sangat pesat, kebutuhan akan pemenuhan hidupnya mengakibatkan bertambahnya pasokan emisi gas dan efek rumah kaca di bumi yang tidak seimbang dengan daya tampung wilayahnya,  kondisi ini akan terjadi dari tahun ke tahun yang menjadi permasalahan serius bagi dunia sebagai dampak perubahan iklim. Bencana ekologis akan terjadi apabila keseimbangan antara makluk hidup dan tempat tinggalnya tidak terpenuhi, sehingga menjadi suatu ancaman (hazard) yang dapat mengakibatkan risiko bencana apabila ada kerentanan (vulnerability) di dalam suatu lingkungan masyarakat dalam menerima ancaman.  Selain itu juga pemanasan global terjadi akibat dari kegiatan ekploitasi secara besar-besaran terhadap sumberdaya alam yang menjadi bagian dari siklus keseimbangan alam.

                Dalam konferensi internasional tentang pemanasan global di Jepang tahun2005 telah menghasilkan Kyoto Protokol yang menjadi landasan dan kerangka kerja bagi seluruh negara-negara di dunia untuk menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim. Akhir-akhir ini bencana sering terjadi dimana-mana mulai dari tsunami, gempa, badai, banjir, longsor, erupsi gunungapi, kekeringan dan lainnya, hal ini harus menjadi suatu pemikiran bersama dalam mengatasinya dan menyelesaikan permasalahan ini. Bencana yang selalu terjadi silih berganti tanpa mengenal waktu dan wilayah, kondisi alam yang tidak seimbang dan perubahan siklus iklim yang tedak sesuai mengakibatkan bencana tidak dapat diprediksi secara pasti, hilangnya keseimbangan lingkungan akibat kerusakan alam yang tidak stabil menjadi sesuatu yang harus diatasi oleh semua pihak yang ada. Bencana menjadi semakin meluas di mana-mana sehingga pentingnya tindakan yang dilakukan secara konprehensif untuk mengurangi risiko bencana dan risiko perubahan iklim dengan melaksanakan manajemen bencana dan rencana aksi pengurangan risiko bencana antara lain (1) mitigasi; (2) manajemen kesiapsiagaan dan manajemen krisis; (3) kedaruratan (emergency response); dan (4) pemulihan dan rencana aksi.


II. PEMBAHASAN
1. Perubahan Iklim dan Bencana Ekologis
               Perubahan iklim global diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer bumi sebagai efek rumah kaca (greenhouse), kegiatan industri, pemanfaatan sumberdaya minyak bumi dan batubara, serta kebakaran hutan sebagai penyumbang emisi gas CO2 terbesar di dunia yang mengakibatkan perubahan pada lingkungan dan tataguna lahan (landuse), karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang diterima dengan energi yang dilepaskan ke udara dan terjadi perubahan tatanan pada atmosfir sehingga dapat mempengaruhi siklus menjadi tidak seimbang di alam, akibatnya terjadi perubahan temperature yang sangat signifikan di atmosfer. Pemanasan global berdampak pada perubahan iklim di dunia menjadi tidak stabil, apabila pemananasan global terus bertambah setiap tahunnya dapat menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap percepatan ancaman yang seperti badai siklon tropis, air pasang dan banjir, kenaikan temperature ekstrim, tsunami, kekeringan dan El Nino yang dapat menimbulkan risiko bencana pada sistem ekologis.

               Bencana ekologis merupakan fenomena alam yang terjadi akibat adanya perubahan tatanan ekologi yang mengalami ganguan atas beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara manusia, makluk hidup dan kondisi alam. Alam sebagai tempat tinggal dan segala sesuatu yang memberikan keseimbangan lingkungan, bencana ekologi sering terjadi akibat akumulasi krisis ekologi yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya pengurusan alam yang mengakibatkan kolapsnya tata kehidupan manusia, kondisi ini juga dipercepat dengan dampak yang dilakukan oleh kegiatan manusia dalam mengelola lingkungan sehingga mempengaruhi pemanasan global di bumi yang berujung pada terjadinya bencana-bencana dimana-mana, pengaruhuh utama dari pemanasan global terhadap terjadinya bencana adalah perubahan suhu udara yang semakin meningkat sehingga mengakibatkan perubahan musim yang tidak seimbang dan memicu percepatan siklus geologi dan metereologi.

          Meningkatnya suhu udara dari waktu ke waktu rata-rata pertahun mencapai 1,4 – 5,8 derajat celcius hingga tahun 2100 yang dapat mempengaruhi kenaikan muka air laut mencapai 88 meter, pemanasan suhu global di udara memberi dampak terhadap keseimbangan energi dalam suatu wilayah hingga mengaklibatkan kekeringan berkapanjangan, menurunnya produktifitas pertanian, rusaknya suatu ekosistem dan tatanan kehidupan manusia dalam jangka panjang. Badai siklon tropis merupakan fenomena badai yang terjadi akibat system tekanan udara rendah pada daerah tropis yang menjadi sebuah ancaman (hazard) yang dapat menimbulkan bencana, badai siklon tropis dapat menghancurkan wilayah yang dilewatinya memiliki diameter antara 20 – 150 kilometer, dan dapat mengakibatkan banjir akibat naiknya masa air dilaut dan di daratan yang terbawa oleh angin dengan kekuatan yang tinggi. Beberapa tahun terakhir banjir merupakan fenomena yang biasa terjadi di berbagai negara ada yang diakibatkan oleh rusaknya fungsi hutan sebagai pengatur siklus air, tata kelola lahan yang tidak baik, kondisi morfologi dan adanya air pasang laut, yang tidak mengenal batas wilayah dan waktu, hal ini dipengaruhi juga dengan kondisi cuaca yang tidak menentu dimana musim hujan tidak lagi pada siklusnya, siklus hidrologi menjadi tidak seimbang antara evaporasi, prefipitasi, infiltrasi dan daya dukung lahan terhadap air permukaan, kondisi musim yang tidak stabil diakibatkan oleh adanya perubahan iklim global di bumi sehingga sulit untuk di prediksi secara pasti. Jumlah populasi yang sangat tinggi menjadi faktor-faktor penentu terjadinya bencana, perlu di ingat bahwa sustu ancaman (hazard) akan menjadi bencana apabila menimbulkan dampak yang sangat besar dan luas, yang mempengaruhi kehidupan dan penghidupan masyarakat serta aset-aset kehidupan yang ada meliputi manusia, fisik (infrastruktur), ekonomi, sosial budaya dan sumberdaya alam.

               Dampak yang terbesar akibat dari perubahan iklim di dunia adanya bencana El Nino, merupakan bencana kekeringan yang terjadi yang terjadi akibat meningkatnya suhu dari rata-rata suhu normalnya sehingga terjadi perubahan musim yang sangat signifikan, hal ini berdampak pada kondisi lahan dan mempengaruhi produktifitas pertanian untuk menghasilkan dapat berdampak pada rusaknya satu ekosistem, tatanank kehidupan manusia, dan kerusakan ekologi. Selain itu dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya air baik yang ada di permukaan maupun yang ada di bawah permukaan, menjadi fenomena sosial ketika banyak terjadi kekeringan, berkurangnya daya tahan pangan dan hilangnya keberfungsiaan lahan. Bencana ekologi terjadi akibat adanya akumulasi dari seluruh rangkaian proses yang di akibatkan oleh pemanasan global di dunia.


2. Upaya Peredaman Risiko Bencana
               Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi akibat kolektifitas atas komponen ancaman (hazard) yaitu berbagai isu-isu pemanasan global yang mempengaruhi kondisi alam dan lingkungan, serta bagaimana tingkat kerentanan (vulnerability) suatu komunitas memiliki nilai yang sangat tinggi sehingga ada hubungan antara tiga faktor diatas untuk menjadi suatu bencana (Paripurno, 2000). Dalam konfrensi dunia tentang pengurangan risiko bencana di jepang (World Confrence on Disaster Reduction, Kobe, Japan 2005), dengan mengacu pada United Framework Convention on Climate Changes (UNFCCC) bencana dan perubahan iklim menjadi isu utama karena memliki hubungan atas terjadinya berbagai bencana di dunia dan menghasilkan rencana aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action 2005 - 20015), dari hasil konfrensi ini, pengurangan risiko bencana diimplementasikan sampai ke tingkat komunitas dimana setiap negara didorong untuk memiliki rencana aksi sebagai upaya peredaman risiko bencana. Selain itu upaya-upaya peredaman risiko bencana telah dilakukan dengan adanya Kyoto Protokol tahun 2005, sebagai kerangka kerja untuk setiap Negara-negara di dunian melakukan rencana aksi pengurangan perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan untuk mengurangi dunia dari pemanasan global yang dapat mengakibatkan bencana ekologis.

               Bencana ekologis menjadi ancaman bagi setiap negara sehingga perlu adanya tindakan preventif dalam mereduksi risiko bencana yang akan ditimbulkan, perubahan iklim dalam waktu yang sangat lama tidak terbatas pada aspek-aspek iklim dan lingkungan, pengurangan emisi gas CO2 di udara menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan pengurangan dampak pemanasan global di dunia. Pencegahan dan pengelolaan lingkungan harus dimulai secara dini untuk menilai risiko dan kondisi alam yang tidak stabil terhadap ancaman bencana ekologis.

               Pengurangan risiko bencana meliputi tahapan sebelum bencana, saat bencana dan setelah bencana, pada tahapan sebelum bencana manajemen risiko dapat dilakukan dengan melakukan upaya-upaya pencegahan atau mitigasi, merupakan upaya terpadu yang dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana, mitigasi dapat dilakukan denganpenilaian risiko bencana berdasarkan atas analisa ancaman (hazard) yang diakibatkan perubahan iklim global, mengenal ancaman untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana, khususnya bencana ekologis, dari faktor-faktor di atas kemudian dilakukan penilaian terhadap kerentanan (vulnerability) dalam suatu komunitas untuk menerima dampak ancaman sehingga dapat mengetahui tingkat risiko bencana. Mitigasi dapat dilakukan dengan melakukan du pendekatan antara lain pendekatan structural yang mengacu pada infrastruktur yang mendukung pengurangan pengaruh pemanasan global dan risiko bencana, serta pendekatan non structural dengan pendekatan masyarakat sebagai perancang dan perencana suatu tindakan mitigasi bencana. Ancaman adalah sesuatu yang dapat mengkibatkan terjadinya bencana baik secara alamiah (natural disaster) maupun akibat ulah manusia itu sendiri (man-made disaster). Atas penilaian risiko bencana dapat dijadikan tolak ukur suatu rencana strategis dalam membangun suatu kesiapsiagaan dalam satu komunitas untuk menghadapi risiko bencana, sistem peringatan dini harus dimiliki sebagai tanda yang dapat memberikan informasi adanya ancaman risiko bencana. Risiko bencana merupakan hubungan antara komponen-komponen ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kemampuan (capacity) dalam mengelola ancaman. Jika dilihat hubungannya risiko bencana dapat dirumuskan

RI = Hazard x Vulnerability/Capacity
Dimana :  RI = Risiko Bencana
                    H  = Hazard
                    V  = Vulnerability
                    C   = Capacity
Semakin tinggi nilai ancaman dan nilai kerentanan maka risiko bencana semakin tinggi, untuk mengurangi risiko bencana perlu melakukan peningkatan nilai kerentanan (vulnerability) menjadi kapasitas (capacity) dengan melakukan penguatan kapasitas di dalam masyarakat dalam mengelola lingkungan, mengenal ancaman, mengetahui dampak yang dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya bencana dalam lingkungan (disaster ecology).

               Upaya kesiapsiagaan dapat dilakukan dengan melakukan suatu rencana aksi yang diimplementasikan dalam suatu kegiatan yang bertujuan untuk pengurangan risiko bencana. Rencana aksi harus meliputi upaya-upaya yang dilakukan untuk pengurangan laju perubahan iklim di setiap negara, meliputi 3 isu yang harus di perhatikan : (1) pengurangan risiko bencana; (2) perubahan iklim global dan (3) pembangunan berkelanjutan, yang menjadi satu kesatuan yang saling berhubungan dalam mengelola ancaman bencana alam (natural disaster). Saat terjadinya bencana di suatu wilayah perlu dilakukan penanganan cepat (emergency response) untuk memberi jaminan keselamatan, kesehatan dan hak-hak dasar kepada seluruh komponen yang terlanda tanpa terkecuali, dalam masa krisis pemulihan cepat terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat harus dilakukan secara terencana dan terpadu sehingga dapat ditangani dengan cepat. Proses pemulihan (recovery) menjadi bagian dari upaya peredaman risiko bencana dimana dalam perencanaan suatu program pemulihan harus memiliki unsur-unsur terhadap pengurangan risiko bencana, berguna bagi keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan aman dari risiko bencana.

III. KESIMPULAN
               Perubahan iklim yang terjadi akibat pemanasan global di dunia memberikan dampak terhadap terjadinya bencana-bencana alam yang merupakan bencana ekologis, dimana terjadi hilangnya keseimbangan ekologi seperti badai siklon tropis, air pasang dan banjir, kenaikan temperature ekstrim, endemic, tsunami, kekeringan dan El Nino. Hal ini berdampak pada kondisi lingkungan disekitarnya. Bencana merupakan akumulasi dari faktor-faktor alam yang telah mengalami ganguan keseimbangan dimana ada suatu kerentanan (vulnerability) pada suatu wilayah yang terkena dampak sehingga menurunnya daya tangkal masyarakat dalam menerima risiko bencana, seringkali bencana yang terjadi silih berganti dalam satu waktu yang sama (bencana kembar). Upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan melakukan tahapan manajemen bencana yang meliputi pencegahan dan mitigasi; kesiapsiagaan; manajemen emergensi, pemulihan dan rencana aksi yang dapat berimplikasi terhadap pengurangan risiko bencana.

              Upaya peredaman risiko bencana merupakan upaya terpadu dan terencana yang dilakukan dalam manajemen bencana sehingga dapat diimplementasikan ke dalam pengeloalaan lingkungan yang berbasis pengurangan risiko bencana, dengan mengurangi efek pemanasan global yang saling berhubungan antara pengurangan risiko bencana, pengurangan global warming dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)


Minggu, 11 Desember 2011

Gunung Sindoro

Temanggung - Aktifitas Gunung Sindoro yang berada di perbatasan Wonosobo dan Temanggung, Jawa Tengah sampai saat ini masih fluktuatif. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) bersama Balai Pennyelidikan dan Pengembangan Kegunangapian (BPPTK) Yogyakarta Minggu(11/12/2011) memasang sebanyak enam jenis alat pemantauan gunung berapi.

Keenam jenis alat itu adalah seismograf short periode(3 buah), seismograft broadband(2 buah), tiltmeter(satu buah), electronic distance measurement(EDM) dengan dua reflektor, kamera inframerah (satu buah) dan mini differential optical absorption spectrometer (DOAS) satu buah.

Mengenai pemasangan enam jenis alat pemantau itu disampaikan oleh Petugas Pos Pengamatan Gunung Sindoro dan Sumbing (PGSS) di Desa Gentingsari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jateng Sumaryanto kepada detikcom Minggu (11/12/2011).

“Sindoro masih cenderung fluktuatif (naik turun) aktifitasnya). Makanya sekarang dipasang sebanyak enam alat untuk memantau secara dekat dan ketat,” jelas Sumaryanto.

Sumaryanto mengungkapkan berdasarkan data terakhir, pada 10 Desember 2011 aktifitas Sindoro masih tetap berstatus waspada level II. Suhu udara 24-28 derajat celcius, kelembaban udara 78-81 persen. Data seismik tercatat muncul sebanyak sembilan kali gempa vulkanik dalam (VA), 22 kali gempa vulkanik dangkal (VB) dan 27 kali gempa hembusan.

Sebelumnya pada 8 Desember 2011 suhu ucara 23-28 derajat celcius kelembaban udara antara 80-82 persen. Data seismik tercatat satu keali gempa tektonik jauh, satu kali gempa tektonik lokal dan 11 kali gempa hembusan.

Kemudian pada 9 Desember 2011, suhu udara antara 24-26 derajat celcius, kelembaban udara antara 79-83 persen. Data seismik tercatat satu kali gempa tektonik jauh, satu kali gempa tektonik lokal, lima kali gempa hembusan dan satu kali gempa tremor.

Kasub Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi Wilayah Barat PVMBG Bandung Hendra Gunawan menjelaskan keenam alat itu dipasang di kawasan puncak dan lereng Sindoro serta di Pos Pemantauan Gunung Sindoro.

Seismograft short period dan seismograf broadband untuk memantau aktifitas kegempaan, tiltmeter dan EDM untuk mengukur tekanan uap panas dan animali panas dikawasan puncak gunung.

“Alat ini untuk memudahkan pengambilan keputusan,” ungkap Hendra Gunawan.

Hendra Gunawan menungkapkan sebetulnya keenam alat itu sudah harus dipasang Sabtu (10/12/2011) kemarin. Namun, karena petugas dari BPPTK Yogyakarta baru datang hari ini maka begitu datang petugasnya langsung dipasang.

“Begitu dipasang maka langsung akan dioperasikan untuk memulai pemantauan gunung Sindoro secara detail,” turu Hendro Gunawan.

Hendro menambahkan alat pemauntauan ini nantinya juga akan disambungkan ke pemauntauan gunung Merapi di Desa Babadan, Kecamatan Dukun, Magelang, Jateng. Dari sana bisa dipantau mengenaik aktifitas kegempaan yang terjadi di Sindoro.

“Hanya aktifitas kegempaanya yang bisa dipantau di pos pemantauan Gunung Merapi di Pos Babadan, Magelang,” ungkap Hendro.

Senin, 05 Desember 2011

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Tengah melakukan diskusi terarah dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Banjarnegara dalam rangka memetakan dan mencari informasi daerah-daerah yang rawan terhadap bencana tanah longsor. Secara fisik alam, kondisi Kab Banjarnegara memang cukup berpotensi untuk terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kondisi alamnya mayoritas adalah perbukitan (70%) dan 30% lainnya adalah dataran.
Menurut BPBD Banjarnegara, 85 % Kecamatan di Kabupaten Banjarnergara rawan terjadi tanah longsor (17 Kecamatan dari 20 Kecamatan di Banjarnegara). Oleh sebab itu pemerintah Kab Banjarngara meminta seluruh masyarakat agar waspada dan memperhatikan ancaman yang terdapat disekitar tempat tinggalnya.
Selengkapnya...
 

Bencana EL NINO

!mgl5.jpg

Surel Cetak PDF
MENURUT Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG, 2009), musim kemarau tahun ini berpotensi bakal sangat panjang, hingga April 2010. Bahkan, akan disertai tiga fenomena alam global seperti El Nino dan La Lina, Dipole Mode, dan Madden Julian Oscilation (MJO), serta tiga fenomena alam regional seperti sirkulasi Muson Asia-Australia, daerah pertemuan angin antartropis, dan naiknya suhu muka laut. 
Terjadinya El Nino di Indonesia berasosiasi dengan berkurangnya curah hujan hingga berada jauh di bawah normal akibat naiknya suhu permukaan laut di kawasan pasifik hingga di atas normal, yakni mencapai di atas satu derajat celsius. Keadaan itu mengakibatkan perairan di Indonesia dingin atau di bawah normal.
Negara kita sebenarnya telah berulang-ulang mengalami fenomena alam El Nino. Namun, kemampuan untuk mendeteksi secara dini fenomena tersebut masih sangat lemah. Akurasi ramalan baru dapat diketahui 3-4 bulan sebelum fenomena itu benar-benar terjadi. Kesulitan seperti ini menjadikan langkah antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh fenomena alam tersebut sering terlambat. Saat El- Nino melanda pada 1997/1998, antisipasi dari pemerintah terlambat karena bersamaan dengan itu kondisi suhu sosial politik dalam negeri mencapai titik kulminasi (Toto Subandriyo, 2009).
Ancaman bahaya bencana El Nino yang berkepanjangan sudah semakin jelas dan mengkhawatirkan. Jika bencana ini sampai benar-benar terjadi, tentu akan menjadi ancaman serius bagi kehidupan di muka bumi ini. Suhu udara akan panas. Krisis air bersih dan kekeringan bakal menjadi bencana.
Kekeringan sudah mulai dirasakan dan telah mengancam sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Jawa Tengah (Jateng). Sejumlah waduk mulai kering atau menyusut debit airnya. Lebih dari 800.000 hektar sawah di Pantura Jawa bahkan sudah puso dan ribuan hektar lain terancam mengalami penurunan panen akibat kekurangan air. Daerah yang kekeringan, antara lain, Kabupaten Kebumen, Tegal, Karanganyar, Brebes, Sragen, Semarang, Purworejo, Cilacap, Rembang, Grobogan, Blora, Wonogiri, Demak, Purwodadi, Rembang, Pati, Gunung Kidul, dan DIY.
Ancaman gangguan iklim berupa kekeringan tidak bisa dipandang sebelah mata, karena dampaknya berantai pada aspek lain. Para petani adalah kelompok yang paling merasakan akibat kekeringan. Tanpa kecukupan air, sawah akan mengering, panen gagal. Kerugian ekonomi pasti menimpa karena sawah menjadi puso. Kekeringan yang dipicu El Nino akan mengganggu ketersediaan pangan nasional dan mengakibatkan ketidaktahanan pangan nasional (Ali Khomsan, Kompas, 4/8/2009).
Meski dampaknya amat luar biasa, hingga kini belum ada upaya signifikan untuk menyelesaikan soal kekeringan. Selama ini, penyelesaian masalah kekeringan dilakukan dengan reaktif, temporer, ad hoc, parsial, orientasi penciptaan proyek. Misalnya, pemberian air bersih, bantuan pupuk, pompa, benih, pengadaan traktor, serta rehabilitasi sarana irigasi, membuat hujan buatan yang biayanya mahal dan hasilnya kerap kurang optimal. Ibarat sakit yang diobati hanya gejalagejala yang timbul, bukan mencari sumber penyebab penyakitnya sehingga akhirnya menjadi penyakit kambuhan.
Untuk perlu upaya secara komprehensif dan berkelanjutan mengatasi bencana kekeringan. Pertama, pemerintah provinsi (pemprov) beserta wali kota/bupati sebagai pemegang kebijakan memanfaatkan dan mendayagunakan sumber-sumber air dan kearifan lokal mengatasi bahaya kekeringan. Termasuk yang masih terabaikan adalah pembenahan manajemen sumber daya air dan sistem irigasi. Setiap daerah pasti memiliki sungai atau sumber air. Ada pula yang mempunyai bendungan baik kategori besar, sedang, maupun kecil. Sumber daya air itulah yang mestinya bisa dioptimalkan kemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan air bersih serta irigasi atau pengairan lahan pertanian.
Kedua, mengoptimalkan sumbersumber air untuk berbagai kebutuhan. Cara sederhana yang bisa dipraktikkan adalah membuat embung (bak-bak penampung air hujan) dan sumur-sumur resapan, atau resapan dengan teknologi biopori. Jadi, ketika air berlimpah pada musim hujan disimpan di bak-bak atau tandon yang dibuat dengan standar tertentu agar memenuhi syarat kesehatan. Selain itu, menjaga daerah tangkapan air dan mempertahankan kelestarian hutan tak kalah penting karena menjadi penentu kuantitas dan kualitas sumber air.
Ketiga, El Nino merupakan fenomena iklim, di mana angin yang bertiup sangat kering dan miskin uap air yang pada akhirnya menyebabkan kekeringan. Kebalikannya La Nina, membawa curah hujan yang berlebih yang memicu banjir besar. El Nino dan La Lina akan makin sering terjadi di Indonesia seiring dengan makin kuatnya dampak perubahan iklim. Pemda perlu mengetahui berapa luas potensi lahan pertanian dan mempertahankan luasannya dari berbagai usaha alih fungsi lahan. Jangan sampai lahan pertanian yang potensial terairi sepanjang tahun berubah fungsi untuk keperluan lain.
Keempat, mengimbau petani tidak memaksakan diri untuk menanam padi apabila kondisi air makin sedikit. Lebih aman mengatur pola tanam dengan menanam palawija pada daerah yang sudah terbukti sulit air. Saat inilah perlunya penyuluhan kepada kelompok tani di daerah yang sering mengalami kekeringan. Tujuannya tak lain menentukan alternatif pola tanam yang tepat agar petani tidak terpuruk akibat gagal panen karena kekeringan seperti pengalaman tahun sebelumnya.
Kelima, BMKG perlu menyampaikan keadaan aktual, kecenderungan, serta teknologi adaptasi dan mitigasinya. Penyusunan sistem informasi kekeringan untuk alokasi, optimasi, dan pendayagunaan sumber daya antarsektor mendesak dilakukan. Pemerintah Provinsi Jateng harus memanfaatkan sistem informasi itu. Dengan memanfaatkan data citra satelit Landsat TM, luas lahan sawah, luas tanam, luas panen, indeks kebasahan, serta kemampuan produksi pangan, dapat diestimasi tiga bulan sebelumnya.
Integrasi data spasial, temporal, tabular, dan vektoral perubahan kekeringan memungkinkan pengambil kebijakan mengembangkan sistem informasi untuk berbagai keperluan, seperti tata ruang, manajemen alih fungsi lahan, produksi air, reboisasi, dan penghijauan, bahkan dalam peningkatan produksi pertanian.

Sutrisno | Wawasan Digital | 8 Agustus 2009

Minggu, 04 Desember 2011

LIMA TAHUN TRAGEDI LUMPUR LAPINDO: PERSPEKTIF GEOLOGI

Dr Andang Bachtiar
(Arema, Geologist merdeka, Ketua Dewan Penasehat IAGI, Chairman Exploration Think Tank Indonesia)

KILAS BALIK

Gunung lumpur (mud-volcano) adalah ekspresi permukaan tanah (dan bawah laut) dari munculnya endapan lumpur tekanan tinggi yg berasal dari bawah permukaan bumi. Seringkali gunung lumpur dikaitkan dengan penyebab alamiah geologis, karena sebelum kejadian semburan Lusi 29 Mei 2006, khasanah literatur geologi dunia jarang mendokumentasikan kasus munculnya gunung lumpur yang dipicu oleh kegiatan manusia. Karena kejadian munculnya gunung lumpur di Sidoarjo ini pertama kali di sekitar lokasi pemboran sumur Banjar Panji-1 yang pada waktu itu sedang mengalami masalah “loss”: dan “kick” disusul “underground blow-out” (semburan liar bawah permukaan), maka mengkaitkannya sebagai pemicu munculnya gunung lumpur tersebut adalah sangat logis.
Waktu pertama kali diwawancara oleh koran daerah Surabaya tentang hal ini, 2 Juni 2006, sayapun sudah mengatakan bahwa fenomena awal dari semburan lumpur tersebut adalah dikarenakan adanya semburan liar bawah permukaan karena waktu itu saya sempat meninjau lokasi dari pinggir jalan tol saat mudik ke Malang, kota kelahiran saya. Fenomena permukaannya hampir serupa dengan kejadian semburan liar pemboran yang saya alami sendiri waktu bekerja di Kalimantan Timur sebagai wellsite geologist Huffco 1985. Demikian juga pendapat awal dari ahli2 geologi dari Lapindo sendiri yang waktu itu sempat kontak2an dengan saya, dan juga keterangan di website EMP (yang sekarang sudah dihapus) yang menyebutkan bahwa terjadi komunikasi dari lubang bor ke pusat semburan yang berjarak beberapa ratus meter dari BJP-1 waktu dilakukan penanggulangan tekanan dari sumur. Pendapat tersebut kemudian diformalkan pertama kali dalam bentuk publikasi oleh Richard Davies dkk (2007) dalam jurnal GSA Today 17 (2): 4.
Seiring dengan waktu, geologist2 di Lapindo-pun mulai mengubah pandangannya. Bersama dengan geologist terkemuka dari BPMigas, dari Oslo dan Jepang yang difasilitasi untuk melakukan peninjauan – riset di daerah semburan dan sekitarnya, keluarlah publikasi-publikasi tandingan yang menyebutkan bahwa gempa, kematangan tektonik, dan – secara spesifik- gerak patahan mendatar yang menekan di daerah Porong lah yang menyebabkan munculnya gunung lumpur tersebut.
Seiring dengan waktu juga, sampai sekarang saya masih berpendapat bahwa proses pemboran di BJP-1 merupakan pemicu dari munculnya gunung lumpur Lusi, sejalan dengan argumen2 yang dipaparkan Davies dkk, dan juga pengamatan yang saya lakukan pada real time drilling charts yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian ke saya 2007-2008.

MEMATIKAN SEMBURAN?

Usaha teknis untuk mematikan semburan LuSi TIDAK BISA dipisahkan dari penanganan masalah sosialnya. HARUS MENJADI SATU PAKET. Kalau tidak, maka jangan pernah berpikir untuk mematikannya. Kalau masalah sosial seperti pembayaran ganti rugi yg terkatung2 karena pemerintah sangat toleran terhadap performance janji Lapindo tidak diberesi maka dijamin segala usaha keteknikan yg akan dilakukan akan mengalami hambatan di lapangan. Itulah yang terjadi sekarang ini. Biarpun konon kabarnya SBY mendapat bisikan banyak pihak dr luar maupun dalam yg terinspirasi oleh keberhasilan penanganan blow out di Montara (NWShelf) dan Horizon (Gulf of Mexico) untuk mulai berpikir lagi soal mematikan sumber semburan LuSi, tetap saja dia sbg presiden tidak bisa lari dr kenyataan bahwa penanganan masalah sosial di LuSI sampai skrg masih amburadul. Makanya dr awal2 seperti ini sebelum sang presiden dipengaruhi oleh banyak pihak untuk grusa-grusu mengadopsi keberhasilan kill well di NWShelf maupun GOM untuk LuSI, saya teriakkan ke mana-mana: beresi juga ganti rugi dan masalah2 sosial lainnya (pemindahan penduduk, pendidikan, jalan raya macet dsb). Jangan cuma fokus ngomong tinggi2 soal teknisnya. Biarlah masalah teknis dibicarakan dan direncanakan ahlinya, tapi masalah sosial harus dikawal dan dipaksakan sesegera mungkin untuk diberesi, supaya nantinya usaha teknis ini diridhloi dan tdk mendapat gangguan masyarakat
Berdasarkan kesepakatan teknis saintifik yg sdh bebrapa kali dibahas di level asosiasi profesi maupun dikalangan ahli lembaga2 pemerintah, disebutkan bahwa usaha teknis pertama yg hrs dilakukan dlm rangka menuju ke perencanaan killing source (bukan well, krn wellnya sudah tidak kliatan lagi?) dr LuSi ini adalah akusisi data seismik 3D dengan disain khusus spt yg sdh didisain oleh kawan2 BPPT dan Elnusa dan sdh diendorse oleh forum2 IAGI maupun HAGI dlm berbagai kesempatan dlm 2 tahun terakhir ini. Akusisi data baru ini menjadi sangat crucial krn akan memberikan gambaran baru tentang kondisi bawah permukaan dalam di bawah LuSi yg selama ini cuma bisa dikira2 saja oleh berbagai kalangan, termasuk oleh para drilling engineer yg mencoba merencanakan drilling program mematikan sumur BJP-1 (mrk menggunakan data2 engineering dr pemboran BJP-1, tp masih perlu dikuatkan oleh data terbaru 3D seismik untuk konfirmasi).
Integrasi data dan interpretasi 3D seismik baru tsb mutlak harus dilakukan dg data engineering dar BJP-1 maupun Relief well sesudahnya dan juga dr data geologi geofisik permukaan dangkal yg diakuisisi dalam 4 tahun erakhir ini.
Khusus untuk asosiasi profesi seperti IAGI, HAGI, dan IATMI, dimohon untuk tidak berat sebelah dalam mengungkapkan berbagai data teknis dan interpretasinya, jangan mengulang kesalahan2 sebelumnya yang hanya memihak pada satu sisi pendapat para ahli tertentu saja, padahal secara nyata berkembang argumen2 counter dr pendapat2 tersebut. Biarkanlah kedua-dua pendapat tersebut berkembang karena line of reasoning dr masing2 bisa jadi akan bermanfaat bagi rencana penanggulangan mematikan semburan ini nanti. Biarlah nanti di level pengambilan keputusan melakukan excercise yg disebut sbg: “probability atau uncertainity management”, yaitu mengambil keputusan berdasarkan ketidakpastian dr berbagai teori penyebab maupun kondisi situasi bawah permukaan-permukaan LuSi. Tentunya dalam sekuen pengambilan keputusannya terkandung azas manfaat lebih banyak drpd mudharat.

SAAT INI

Saat ini upaya untuk melihat sejauh mana kerusakan subsurface dg survei seismik 3dimensi sdg dlm tahap perencanaan, disain, sosialisasi, dan tender. Survei seismik 3D ini dibawah koordinasi dan bujet Badan Geologi ESDM, dibantu sukarela oleh IAGI/HAGI; harapannya:akhir 2011 image subusrface baru sdh ada, sehingga:
  • 1) Pihak2 yg merasa bhw semburan bisa dimatikan dg pemboran atau teknis lainnya bisa mengkongkritkan usulan dengan data bawah permukaan yg lebih jelas, bukan hanya asumsi2 saja (yg seringkali satu dg lainnya juga berbeda2), atau malah bisa juga membatalkannya krn melihat damage-nya sdh multi bidang, bkn hanya bidang tunggal; jadi “cost benefit”nya tidak matched
  • 2) Dapat dibuat analisis prediksi modeling subsidence/penurunan tanah, sampai di surface area mana kemungkinan terjadi kerusakan & seberapa tingkat bahayanya sehingga bisa dibuat peta resiko – zonasi yg baru – yg lebih update berdasar data subsurface, yg tdk hrs tiap thn diganti dg perpres spt selama ini terjadi.
  • 3) Ganti-rugi dan atau pemindahan penduduk untuk rencana pengelolaan jangka panjang area tsb menjadi “once for all” solution kalau menggunakan hasil no.2 di atas
Usulan saya: sudah saja semua penduduk yg terdampak di sekitar daerah tersebut ditambah dengan yang dr survei tim independen Provinsi Jatim tahun lalu dan dari hasil evaluasi hazard 3D nanti, semua diganti-rugi sampai selesai dg menggunakan duit yg ada (pinjaman dr pemerintah (?) yg nanti dibebankan pd Lapindo dan atau pengelola berikutnya)
Kemudian, daerah yang ditinggalkan dikelola oleh badan khusus (otorita?) untuk riset, wisata, maupun kegiatan eksplorasi lainnya bila memungkinkan…
Sangat mungkin nantinya bisa dilakukan lagi eksplorasi dan eksploitasi potensi cadangan migas di bawah daerah semburan lumpur tersebut. Karena probabilitas kehadiran cadangan migas (terutama gas) sangat besar disini. Lapindo atau siapapun yang berminat membantu pemerintah membereskan urusan ganti rugi dan evakuasi massal ini mungkin bisa berharap menghitung-hitung return dari investasi sosialnya saat ini.
Jakarta, 23 Mei 2011
ADB