Minggu, 25 Desember 2011

KEJADIAN BENCANA DAN KESIAPAN MASYARAKAT

Akhir-akhir ini peristiwa bencana sering menimpa negeri ini, semua pihak merasa terkejut dengan rentetan kejadian bencana, diawali dengan Gempa Bumi yang diiringi gelombang tsunami di Nangroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara yang terjadi tanggal 26 Oktober 2004, merenggut nyawa berkisar 240.000 orang meninggal dan hilang, dari laporan Overseas Development Institute (ODI) tahun 2005, total kerugian finansial dan ekonomi dari bencana tsunami mencapai US$ 4,45 miliar atau sekitar Rp. 40 triliun atau sekitar 1,2 persen dari total PDB tahun 2006 , tanggal 6 Januari 2006 terjadi banjir Bandang dan tanah Longsor di Jember Jawa Timur dan Banjarnegara Jawa Tengah, tanggal 27 Mei 2006 Gempa Bumi yang terjadi di Daerah Istimewa Jogyakarta dan Jawa Tengah yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia, dari catatan Bappenas tahun 2006, kerugian finansial dan ekonomi akibat gempa bumi di Yogjakarta sebesar Rp 29,1 triliun, angka tersebut meliputi total kerusakan aset pemerintah, dunia usaha dan warga. Tanggal 2 Februari 2007 air menggenangi Ibukota Jakarta dan wilayah Jabodetabek setinggi 1 sampai 5 Meter, yang mengakibatkan ribuan rumah warga ibukota Jakarta dan wilayah Bekasi dan Tangerang terendam, dengan total kerugian finansial dan ekonomi akibat banjir berdasarkan perhitungan Bappenas mencapai Rp 8,8 triliun, tanggal 6 Maret 2007 terjadi Gempa Bumi di Sumatera Barat yang meluluhlantakkan pemukiman penduduk yang berakibat ratusan jiwa meninggal dan ribuan rumah rusak serta tanggal 10 September 2007 Gempa Bumi menghantam Provinsi Bengkulu dengan kekuatan 7,9 skala richter. Dari rangkaian kejadian tersebut membuktikan bahwa wilayah kepulauan Indonesia rentan terhadap kejadian peristiwa alam yang dinamakan bencana alam.

Melihat kondisi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki geografis, geologis, hidrologis dan demografis Indonesia yang memungkinkan terjadinya bencana,baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.Selain itu secara kultural, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras dan golongan, maka Indonesia sangat potensial terjadinya bencana yang disebabkan oleh karena ulah manusia termasuk kerusuhan sosial.Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu potensi utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency), potensi utama dapat dilihat dari peta rawan bencana yakni kita memiliki zona-zona rawan gempa, banjir dan terjadinya banjir bandang maupun tanah longsor, sedangkan potensi bahaya ikutan antara lain kepadatan pemukiman penduduk, prosentase bangunan yang terbuat dari kayu sangat tinggi utama diperkotaan atau yang dikenal dengan daerah kumuh diperkotaan.

TIPICAL KORBAN BENCANA

Melihat beberapa peristiwa bencana yang menimpa beberapa daerah yang terkena musibah, banyak hal yang dapat penulis dapatkan dari pengalaman melaksanakan misi kemanusiaan untuk membantu korban bencana, baik dari segi karakteristik masyarakat maupun ketahanan mental masyarakat menghadapi musibah, sebagai ilustrasi saat terjadi bencana dan pasca bencana hampir seluruh masyarakat Aceh termenung seakan tak percaya dengan kejadian yang hanya 15 menit dapat menghancurkan sebagian wilayah Meulaboh, Kota Banda Aceh, Syah Kuala, Loknga dan kawasan pesisir Aceh, tatapan hampa terlihat dari raut wajah para pengungsi, tetapi dengan ketegaran jiwa dan dukungan serta simpati masyarakat dari belahan dunia ini rakyat Aceh bangkit menatap masa depan yang lebih cerah .

Penduduk Jogjakarta dan Jawa Tengah terlihat sabar dan nerimo terhadap peristiwa alam yang menimpa dirinya melalui ungkapan ya, mau gimana lagi mas, wong kita hidup ini ada yang maha mengatur, masyarakat Sumatera Barat sangat tegar menghadapi ujian dari Allah, ini terlihat dari kegigihan dan tidak larut dalam kedukaan, kito dirantaupun sudah biaso menghadapi rintangan seperti ini, warga Bengkulu khususnya di daerah Kecamatan Batiknau Bengkulu Utara begitu panik dan kalut, sehingga secara spontan ratusan warga dengan membawa senjata tajam, kayu dan bambu menunjukkan reaksi negative dengan cara menghadang kendaraan bantuan serta kendaraan pejabat pemerintah yang nomor polisi berwarna merah, bahkan membuat rintangan dijalan berupa pemasangan kayu balok, seng, kursi demi mengharapkan bantuan dari para dermawan, sehingga kendaraan yang lewat harus terlebih dahulu bernegosiasi sembari berujar kami ini korban gempa juga, jangan kendaraan lewat saja dan kami tidak dibantu, apa bedanya kami dengan masyarakat di Kabupaten Muko-muko.

Dari Sidoarjo akibat semburan lumpur panas yang tak kunjung henti, terbetik jeritan pilu dari warga seperti terlontar dari seorang ibu Sowi warga desa Siring yang menangis tersedu-sedu sambil berujar ” Saya telah kehilangan rumah, perabotan, kulkas, mesin cuci, saya telah kehilangan semua yang saya miliki selama ini, yang diikuti warga lainnya. Harta yang kami kumpulkan bertahun-tahun musnah oleh semburan dan genangan lumpur, kami tidak butuh janji-janji, kami butuh kepastian, kami kedinginan, tidur seadanya, demikian juga Pak Solihin seorang purnawirawan tak kuasa membendung duka yang dialaminya sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya dan mata yang berkaca-kaca. Beban psikologis tampak terasa amat berat dirasakan oleh para korban dan anak-anak yang sedang ditenda pengungsian sebagai tempat penampungan sementara sembari menunggu kepastian yang tak kunjung tiba. Tampak dari beberapa titik bahwa terlihat jelas beberapa pabrik tempat mereka mencari nafkahpun ikut terendam oleh lumpur panas. Kami tidak tahu sampai kapan harus bertahan disini.

Berpijak dari rangkaian kejadian tersebut, secara antisipatif mari kita selalu siap, siaga dan sigap untuk menghadapi kejadian bencana, yang notabene sudah menjadi bagian dari siklus kehidupan masyarat Indonesia, hal ini beranjak dari berbagai pengalaman yang pernah kita lihat, kita rasakan dan kita saksikan selama ini. Sikap mental yang tangguh sangat menentukan percepatan pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena musibah, sikap tawakal dan menganggap peristiwa alam adalah konsekuensi dari hidup saling membutuhkan antara manusia , alam dan seisinya. Perilaku yang bijak serta bertawakal kepada Allah mutlak harus tertanam didalam hati sanubari setiap insan dalam menyikapi peristiwa alam yang terjadi. Manusia terkadang lupa, apa yang diperbuat dimuka bumi ini merupakan investasi sosial yang diimplementasikan dalam bentuk akumulasi tindakan dan perbuatan yang akan berimbas pada hasil yang akan diterimanya selama hidup bersinergi dengan alam.

Untuk memperkuat kesiapsiagaan itulah perlu adanya semacam personel penanggulangan bencana yang berbasis masyarakat, seperti halnya TAGANA.
Bencana Ekologi Sebagai Dampak Perubahan Iklim Global dan Upaya Peredaman Risiko Bencana
DREaM - 05.06.2009,
BENCANA EKOLOGIS SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN UPAYA PEREDAMAN RISIKO BENCANA

Oleh Petrasa Wacana
Abstrak

               Pemanasan global menjadi isu utama di dunia, merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh di dunia di abad 21, hal ini berdampak pada terjadinya kenaikan suhu di bumi, yang mengakibatkan hilangnya keseimbangan dalam siklus bumi, kenaikan suhu permukaan dan perubahan musim yang tidak dapat diprediksi. Perubahan iklim berdampak pada terjadinya bencana alam dimana-mana mulai dari badai topan, badai siklon tropis, banjir, endemic, kekeringan, El Nino, kelaparan, tsunami dan berbagai bencana lainnya yang mengakibatkan hilangnya fungsi ekosistem yang berdampak pada terjadinya bencana ekologis. Bencana terjadi akibat adanya faktor-faktor ancaman (hazard) berupa fenomena alam akibat pemanasan global dan adanya kerentanan (vulnerability) di dalam suatu masyarakat dalam menerima risiko bencana, untuk itulah perlu dilakukan upaya-upaya peredaman risiko bencana (disaster risk reduction) yang merupakan suatu kegiatan manajemen bencana untuk mengurangi risiko bencana dari dampak perubahan iklim global mulai dari sebelum bencana terjadi (mitigasi dan kesiaapsiagaan), saat terjadi bencana (emergency response) dan setelah terjadi bencana (recovery and rencana strategis).
Kata kunci : Pemanasan global, perubahan iklim, risiko bencana, ancaman, kerentanan, disaster management.


I. PENDAHULUAN
               Pemanasan global telah terjadi semenjak abad 20, mulai dari awal revolosi industri di negara-negara eropa, pemanasan global memberikan dampak terhadap perubahan iklim global sebagai akibat dari efek rumah kaca dan pemenuhan emisi gas CO2 di udara yang dapat mengakibatkan perubahan kondisi suhu golobal dan mempengaruhi kondisi siklus metereologi dan geologi, yang mengakibatakan bencana alam dimana kondisi terjadinya bencana memiliki hubungan dengan pemanasan global dan kenaikan muka air laut oleh karena adanya penambahan masa air laut akibat pencairan es di kutub yang ditimbulkan setiap tahunnya, terjadinya El Nino, banjir akibat faktor cuaca yang tidak menentu dan sering juga berbarengan dengan bencana longsor, badai tropis, dan badai siklon. Risiko bencana yang dapat ditimbulkan berupa hilangnya keberfungsiaan masyarakat, korban, kerugian material, kerusakan fisik dan kerusakan lingkungan. Dalam dua dekade ini telah terjadi pertumbuhan penduduk di dunia yang sangat pesat, kebutuhan akan pemenuhan hidupnya mengakibatkan bertambahnya pasokan emisi gas dan efek rumah kaca di bumi yang tidak seimbang dengan daya tampung wilayahnya,  kondisi ini akan terjadi dari tahun ke tahun yang menjadi permasalahan serius bagi dunia sebagai dampak perubahan iklim. Bencana ekologis akan terjadi apabila keseimbangan antara makluk hidup dan tempat tinggalnya tidak terpenuhi, sehingga menjadi suatu ancaman (hazard) yang dapat mengakibatkan risiko bencana apabila ada kerentanan (vulnerability) di dalam suatu lingkungan masyarakat dalam menerima ancaman.  Selain itu juga pemanasan global terjadi akibat dari kegiatan ekploitasi secara besar-besaran terhadap sumberdaya alam yang menjadi bagian dari siklus keseimbangan alam.

                Dalam konferensi internasional tentang pemanasan global di Jepang tahun2005 telah menghasilkan Kyoto Protokol yang menjadi landasan dan kerangka kerja bagi seluruh negara-negara di dunia untuk menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim. Akhir-akhir ini bencana sering terjadi dimana-mana mulai dari tsunami, gempa, badai, banjir, longsor, erupsi gunungapi, kekeringan dan lainnya, hal ini harus menjadi suatu pemikiran bersama dalam mengatasinya dan menyelesaikan permasalahan ini. Bencana yang selalu terjadi silih berganti tanpa mengenal waktu dan wilayah, kondisi alam yang tidak seimbang dan perubahan siklus iklim yang tedak sesuai mengakibatkan bencana tidak dapat diprediksi secara pasti, hilangnya keseimbangan lingkungan akibat kerusakan alam yang tidak stabil menjadi sesuatu yang harus diatasi oleh semua pihak yang ada. Bencana menjadi semakin meluas di mana-mana sehingga pentingnya tindakan yang dilakukan secara konprehensif untuk mengurangi risiko bencana dan risiko perubahan iklim dengan melaksanakan manajemen bencana dan rencana aksi pengurangan risiko bencana antara lain (1) mitigasi; (2) manajemen kesiapsiagaan dan manajemen krisis; (3) kedaruratan (emergency response); dan (4) pemulihan dan rencana aksi.


II. PEMBAHASAN
1. Perubahan Iklim dan Bencana Ekologis
               Perubahan iklim global diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer bumi sebagai efek rumah kaca (greenhouse), kegiatan industri, pemanfaatan sumberdaya minyak bumi dan batubara, serta kebakaran hutan sebagai penyumbang emisi gas CO2 terbesar di dunia yang mengakibatkan perubahan pada lingkungan dan tataguna lahan (landuse), karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang diterima dengan energi yang dilepaskan ke udara dan terjadi perubahan tatanan pada atmosfir sehingga dapat mempengaruhi siklus menjadi tidak seimbang di alam, akibatnya terjadi perubahan temperature yang sangat signifikan di atmosfer. Pemanasan global berdampak pada perubahan iklim di dunia menjadi tidak stabil, apabila pemananasan global terus bertambah setiap tahunnya dapat menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap percepatan ancaman yang seperti badai siklon tropis, air pasang dan banjir, kenaikan temperature ekstrim, tsunami, kekeringan dan El Nino yang dapat menimbulkan risiko bencana pada sistem ekologis.

               Bencana ekologis merupakan fenomena alam yang terjadi akibat adanya perubahan tatanan ekologi yang mengalami ganguan atas beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara manusia, makluk hidup dan kondisi alam. Alam sebagai tempat tinggal dan segala sesuatu yang memberikan keseimbangan lingkungan, bencana ekologi sering terjadi akibat akumulasi krisis ekologi yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya pengurusan alam yang mengakibatkan kolapsnya tata kehidupan manusia, kondisi ini juga dipercepat dengan dampak yang dilakukan oleh kegiatan manusia dalam mengelola lingkungan sehingga mempengaruhi pemanasan global di bumi yang berujung pada terjadinya bencana-bencana dimana-mana, pengaruhuh utama dari pemanasan global terhadap terjadinya bencana adalah perubahan suhu udara yang semakin meningkat sehingga mengakibatkan perubahan musim yang tidak seimbang dan memicu percepatan siklus geologi dan metereologi.

          Meningkatnya suhu udara dari waktu ke waktu rata-rata pertahun mencapai 1,4 – 5,8 derajat celcius hingga tahun 2100 yang dapat mempengaruhi kenaikan muka air laut mencapai 88 meter, pemanasan suhu global di udara memberi dampak terhadap keseimbangan energi dalam suatu wilayah hingga mengaklibatkan kekeringan berkapanjangan, menurunnya produktifitas pertanian, rusaknya suatu ekosistem dan tatanan kehidupan manusia dalam jangka panjang. Badai siklon tropis merupakan fenomena badai yang terjadi akibat system tekanan udara rendah pada daerah tropis yang menjadi sebuah ancaman (hazard) yang dapat menimbulkan bencana, badai siklon tropis dapat menghancurkan wilayah yang dilewatinya memiliki diameter antara 20 – 150 kilometer, dan dapat mengakibatkan banjir akibat naiknya masa air dilaut dan di daratan yang terbawa oleh angin dengan kekuatan yang tinggi. Beberapa tahun terakhir banjir merupakan fenomena yang biasa terjadi di berbagai negara ada yang diakibatkan oleh rusaknya fungsi hutan sebagai pengatur siklus air, tata kelola lahan yang tidak baik, kondisi morfologi dan adanya air pasang laut, yang tidak mengenal batas wilayah dan waktu, hal ini dipengaruhi juga dengan kondisi cuaca yang tidak menentu dimana musim hujan tidak lagi pada siklusnya, siklus hidrologi menjadi tidak seimbang antara evaporasi, prefipitasi, infiltrasi dan daya dukung lahan terhadap air permukaan, kondisi musim yang tidak stabil diakibatkan oleh adanya perubahan iklim global di bumi sehingga sulit untuk di prediksi secara pasti. Jumlah populasi yang sangat tinggi menjadi faktor-faktor penentu terjadinya bencana, perlu di ingat bahwa sustu ancaman (hazard) akan menjadi bencana apabila menimbulkan dampak yang sangat besar dan luas, yang mempengaruhi kehidupan dan penghidupan masyarakat serta aset-aset kehidupan yang ada meliputi manusia, fisik (infrastruktur), ekonomi, sosial budaya dan sumberdaya alam.

               Dampak yang terbesar akibat dari perubahan iklim di dunia adanya bencana El Nino, merupakan bencana kekeringan yang terjadi yang terjadi akibat meningkatnya suhu dari rata-rata suhu normalnya sehingga terjadi perubahan musim yang sangat signifikan, hal ini berdampak pada kondisi lahan dan mempengaruhi produktifitas pertanian untuk menghasilkan dapat berdampak pada rusaknya satu ekosistem, tatanank kehidupan manusia, dan kerusakan ekologi. Selain itu dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya air baik yang ada di permukaan maupun yang ada di bawah permukaan, menjadi fenomena sosial ketika banyak terjadi kekeringan, berkurangnya daya tahan pangan dan hilangnya keberfungsiaan lahan. Bencana ekologi terjadi akibat adanya akumulasi dari seluruh rangkaian proses yang di akibatkan oleh pemanasan global di dunia.


2. Upaya Peredaman Risiko Bencana
               Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi akibat kolektifitas atas komponen ancaman (hazard) yaitu berbagai isu-isu pemanasan global yang mempengaruhi kondisi alam dan lingkungan, serta bagaimana tingkat kerentanan (vulnerability) suatu komunitas memiliki nilai yang sangat tinggi sehingga ada hubungan antara tiga faktor diatas untuk menjadi suatu bencana (Paripurno, 2000). Dalam konfrensi dunia tentang pengurangan risiko bencana di jepang (World Confrence on Disaster Reduction, Kobe, Japan 2005), dengan mengacu pada United Framework Convention on Climate Changes (UNFCCC) bencana dan perubahan iklim menjadi isu utama karena memliki hubungan atas terjadinya berbagai bencana di dunia dan menghasilkan rencana aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action 2005 - 20015), dari hasil konfrensi ini, pengurangan risiko bencana diimplementasikan sampai ke tingkat komunitas dimana setiap negara didorong untuk memiliki rencana aksi sebagai upaya peredaman risiko bencana. Selain itu upaya-upaya peredaman risiko bencana telah dilakukan dengan adanya Kyoto Protokol tahun 2005, sebagai kerangka kerja untuk setiap Negara-negara di dunian melakukan rencana aksi pengurangan perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan untuk mengurangi dunia dari pemanasan global yang dapat mengakibatkan bencana ekologis.

               Bencana ekologis menjadi ancaman bagi setiap negara sehingga perlu adanya tindakan preventif dalam mereduksi risiko bencana yang akan ditimbulkan, perubahan iklim dalam waktu yang sangat lama tidak terbatas pada aspek-aspek iklim dan lingkungan, pengurangan emisi gas CO2 di udara menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan pengurangan dampak pemanasan global di dunia. Pencegahan dan pengelolaan lingkungan harus dimulai secara dini untuk menilai risiko dan kondisi alam yang tidak stabil terhadap ancaman bencana ekologis.

               Pengurangan risiko bencana meliputi tahapan sebelum bencana, saat bencana dan setelah bencana, pada tahapan sebelum bencana manajemen risiko dapat dilakukan dengan melakukan upaya-upaya pencegahan atau mitigasi, merupakan upaya terpadu yang dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana, mitigasi dapat dilakukan denganpenilaian risiko bencana berdasarkan atas analisa ancaman (hazard) yang diakibatkan perubahan iklim global, mengenal ancaman untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana, khususnya bencana ekologis, dari faktor-faktor di atas kemudian dilakukan penilaian terhadap kerentanan (vulnerability) dalam suatu komunitas untuk menerima dampak ancaman sehingga dapat mengetahui tingkat risiko bencana. Mitigasi dapat dilakukan dengan melakukan du pendekatan antara lain pendekatan structural yang mengacu pada infrastruktur yang mendukung pengurangan pengaruh pemanasan global dan risiko bencana, serta pendekatan non structural dengan pendekatan masyarakat sebagai perancang dan perencana suatu tindakan mitigasi bencana. Ancaman adalah sesuatu yang dapat mengkibatkan terjadinya bencana baik secara alamiah (natural disaster) maupun akibat ulah manusia itu sendiri (man-made disaster). Atas penilaian risiko bencana dapat dijadikan tolak ukur suatu rencana strategis dalam membangun suatu kesiapsiagaan dalam satu komunitas untuk menghadapi risiko bencana, sistem peringatan dini harus dimiliki sebagai tanda yang dapat memberikan informasi adanya ancaman risiko bencana. Risiko bencana merupakan hubungan antara komponen-komponen ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kemampuan (capacity) dalam mengelola ancaman. Jika dilihat hubungannya risiko bencana dapat dirumuskan

RI = Hazard x Vulnerability/Capacity
Dimana :  RI = Risiko Bencana
                    H  = Hazard
                    V  = Vulnerability
                    C   = Capacity
Semakin tinggi nilai ancaman dan nilai kerentanan maka risiko bencana semakin tinggi, untuk mengurangi risiko bencana perlu melakukan peningkatan nilai kerentanan (vulnerability) menjadi kapasitas (capacity) dengan melakukan penguatan kapasitas di dalam masyarakat dalam mengelola lingkungan, mengenal ancaman, mengetahui dampak yang dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya bencana dalam lingkungan (disaster ecology).

               Upaya kesiapsiagaan dapat dilakukan dengan melakukan suatu rencana aksi yang diimplementasikan dalam suatu kegiatan yang bertujuan untuk pengurangan risiko bencana. Rencana aksi harus meliputi upaya-upaya yang dilakukan untuk pengurangan laju perubahan iklim di setiap negara, meliputi 3 isu yang harus di perhatikan : (1) pengurangan risiko bencana; (2) perubahan iklim global dan (3) pembangunan berkelanjutan, yang menjadi satu kesatuan yang saling berhubungan dalam mengelola ancaman bencana alam (natural disaster). Saat terjadinya bencana di suatu wilayah perlu dilakukan penanganan cepat (emergency response) untuk memberi jaminan keselamatan, kesehatan dan hak-hak dasar kepada seluruh komponen yang terlanda tanpa terkecuali, dalam masa krisis pemulihan cepat terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat harus dilakukan secara terencana dan terpadu sehingga dapat ditangani dengan cepat. Proses pemulihan (recovery) menjadi bagian dari upaya peredaman risiko bencana dimana dalam perencanaan suatu program pemulihan harus memiliki unsur-unsur terhadap pengurangan risiko bencana, berguna bagi keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan aman dari risiko bencana.

III. KESIMPULAN
               Perubahan iklim yang terjadi akibat pemanasan global di dunia memberikan dampak terhadap terjadinya bencana-bencana alam yang merupakan bencana ekologis, dimana terjadi hilangnya keseimbangan ekologi seperti badai siklon tropis, air pasang dan banjir, kenaikan temperature ekstrim, endemic, tsunami, kekeringan dan El Nino. Hal ini berdampak pada kondisi lingkungan disekitarnya. Bencana merupakan akumulasi dari faktor-faktor alam yang telah mengalami ganguan keseimbangan dimana ada suatu kerentanan (vulnerability) pada suatu wilayah yang terkena dampak sehingga menurunnya daya tangkal masyarakat dalam menerima risiko bencana, seringkali bencana yang terjadi silih berganti dalam satu waktu yang sama (bencana kembar). Upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan melakukan tahapan manajemen bencana yang meliputi pencegahan dan mitigasi; kesiapsiagaan; manajemen emergensi, pemulihan dan rencana aksi yang dapat berimplikasi terhadap pengurangan risiko bencana.

              Upaya peredaman risiko bencana merupakan upaya terpadu dan terencana yang dilakukan dalam manajemen bencana sehingga dapat diimplementasikan ke dalam pengeloalaan lingkungan yang berbasis pengurangan risiko bencana, dengan mengurangi efek pemanasan global yang saling berhubungan antara pengurangan risiko bencana, pengurangan global warming dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)


Minggu, 11 Desember 2011

Gunung Sindoro

Temanggung - Aktifitas Gunung Sindoro yang berada di perbatasan Wonosobo dan Temanggung, Jawa Tengah sampai saat ini masih fluktuatif. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) bersama Balai Pennyelidikan dan Pengembangan Kegunangapian (BPPTK) Yogyakarta Minggu(11/12/2011) memasang sebanyak enam jenis alat pemantauan gunung berapi.

Keenam jenis alat itu adalah seismograf short periode(3 buah), seismograft broadband(2 buah), tiltmeter(satu buah), electronic distance measurement(EDM) dengan dua reflektor, kamera inframerah (satu buah) dan mini differential optical absorption spectrometer (DOAS) satu buah.

Mengenai pemasangan enam jenis alat pemantau itu disampaikan oleh Petugas Pos Pengamatan Gunung Sindoro dan Sumbing (PGSS) di Desa Gentingsari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jateng Sumaryanto kepada detikcom Minggu (11/12/2011).

“Sindoro masih cenderung fluktuatif (naik turun) aktifitasnya). Makanya sekarang dipasang sebanyak enam alat untuk memantau secara dekat dan ketat,” jelas Sumaryanto.

Sumaryanto mengungkapkan berdasarkan data terakhir, pada 10 Desember 2011 aktifitas Sindoro masih tetap berstatus waspada level II. Suhu udara 24-28 derajat celcius, kelembaban udara 78-81 persen. Data seismik tercatat muncul sebanyak sembilan kali gempa vulkanik dalam (VA), 22 kali gempa vulkanik dangkal (VB) dan 27 kali gempa hembusan.

Sebelumnya pada 8 Desember 2011 suhu ucara 23-28 derajat celcius kelembaban udara antara 80-82 persen. Data seismik tercatat satu keali gempa tektonik jauh, satu kali gempa tektonik lokal dan 11 kali gempa hembusan.

Kemudian pada 9 Desember 2011, suhu udara antara 24-26 derajat celcius, kelembaban udara antara 79-83 persen. Data seismik tercatat satu kali gempa tektonik jauh, satu kali gempa tektonik lokal, lima kali gempa hembusan dan satu kali gempa tremor.

Kasub Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi Wilayah Barat PVMBG Bandung Hendra Gunawan menjelaskan keenam alat itu dipasang di kawasan puncak dan lereng Sindoro serta di Pos Pemantauan Gunung Sindoro.

Seismograft short period dan seismograf broadband untuk memantau aktifitas kegempaan, tiltmeter dan EDM untuk mengukur tekanan uap panas dan animali panas dikawasan puncak gunung.

“Alat ini untuk memudahkan pengambilan keputusan,” ungkap Hendra Gunawan.

Hendra Gunawan menungkapkan sebetulnya keenam alat itu sudah harus dipasang Sabtu (10/12/2011) kemarin. Namun, karena petugas dari BPPTK Yogyakarta baru datang hari ini maka begitu datang petugasnya langsung dipasang.

“Begitu dipasang maka langsung akan dioperasikan untuk memulai pemantauan gunung Sindoro secara detail,” turu Hendro Gunawan.

Hendro menambahkan alat pemauntauan ini nantinya juga akan disambungkan ke pemauntauan gunung Merapi di Desa Babadan, Kecamatan Dukun, Magelang, Jateng. Dari sana bisa dipantau mengenaik aktifitas kegempaan yang terjadi di Sindoro.

“Hanya aktifitas kegempaanya yang bisa dipantau di pos pemantauan Gunung Merapi di Pos Babadan, Magelang,” ungkap Hendro.

Senin, 05 Desember 2011

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Tengah melakukan diskusi terarah dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Banjarnegara dalam rangka memetakan dan mencari informasi daerah-daerah yang rawan terhadap bencana tanah longsor. Secara fisik alam, kondisi Kab Banjarnegara memang cukup berpotensi untuk terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kondisi alamnya mayoritas adalah perbukitan (70%) dan 30% lainnya adalah dataran.
Menurut BPBD Banjarnegara, 85 % Kecamatan di Kabupaten Banjarnergara rawan terjadi tanah longsor (17 Kecamatan dari 20 Kecamatan di Banjarnegara). Oleh sebab itu pemerintah Kab Banjarngara meminta seluruh masyarakat agar waspada dan memperhatikan ancaman yang terdapat disekitar tempat tinggalnya.
Selengkapnya...
 

Bencana EL NINO

!mgl5.jpg

Surel Cetak PDF
MENURUT Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG, 2009), musim kemarau tahun ini berpotensi bakal sangat panjang, hingga April 2010. Bahkan, akan disertai tiga fenomena alam global seperti El Nino dan La Lina, Dipole Mode, dan Madden Julian Oscilation (MJO), serta tiga fenomena alam regional seperti sirkulasi Muson Asia-Australia, daerah pertemuan angin antartropis, dan naiknya suhu muka laut. 
Terjadinya El Nino di Indonesia berasosiasi dengan berkurangnya curah hujan hingga berada jauh di bawah normal akibat naiknya suhu permukaan laut di kawasan pasifik hingga di atas normal, yakni mencapai di atas satu derajat celsius. Keadaan itu mengakibatkan perairan di Indonesia dingin atau di bawah normal.
Negara kita sebenarnya telah berulang-ulang mengalami fenomena alam El Nino. Namun, kemampuan untuk mendeteksi secara dini fenomena tersebut masih sangat lemah. Akurasi ramalan baru dapat diketahui 3-4 bulan sebelum fenomena itu benar-benar terjadi. Kesulitan seperti ini menjadikan langkah antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh fenomena alam tersebut sering terlambat. Saat El- Nino melanda pada 1997/1998, antisipasi dari pemerintah terlambat karena bersamaan dengan itu kondisi suhu sosial politik dalam negeri mencapai titik kulminasi (Toto Subandriyo, 2009).
Ancaman bahaya bencana El Nino yang berkepanjangan sudah semakin jelas dan mengkhawatirkan. Jika bencana ini sampai benar-benar terjadi, tentu akan menjadi ancaman serius bagi kehidupan di muka bumi ini. Suhu udara akan panas. Krisis air bersih dan kekeringan bakal menjadi bencana.
Kekeringan sudah mulai dirasakan dan telah mengancam sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Jawa Tengah (Jateng). Sejumlah waduk mulai kering atau menyusut debit airnya. Lebih dari 800.000 hektar sawah di Pantura Jawa bahkan sudah puso dan ribuan hektar lain terancam mengalami penurunan panen akibat kekurangan air. Daerah yang kekeringan, antara lain, Kabupaten Kebumen, Tegal, Karanganyar, Brebes, Sragen, Semarang, Purworejo, Cilacap, Rembang, Grobogan, Blora, Wonogiri, Demak, Purwodadi, Rembang, Pati, Gunung Kidul, dan DIY.
Ancaman gangguan iklim berupa kekeringan tidak bisa dipandang sebelah mata, karena dampaknya berantai pada aspek lain. Para petani adalah kelompok yang paling merasakan akibat kekeringan. Tanpa kecukupan air, sawah akan mengering, panen gagal. Kerugian ekonomi pasti menimpa karena sawah menjadi puso. Kekeringan yang dipicu El Nino akan mengganggu ketersediaan pangan nasional dan mengakibatkan ketidaktahanan pangan nasional (Ali Khomsan, Kompas, 4/8/2009).
Meski dampaknya amat luar biasa, hingga kini belum ada upaya signifikan untuk menyelesaikan soal kekeringan. Selama ini, penyelesaian masalah kekeringan dilakukan dengan reaktif, temporer, ad hoc, parsial, orientasi penciptaan proyek. Misalnya, pemberian air bersih, bantuan pupuk, pompa, benih, pengadaan traktor, serta rehabilitasi sarana irigasi, membuat hujan buatan yang biayanya mahal dan hasilnya kerap kurang optimal. Ibarat sakit yang diobati hanya gejalagejala yang timbul, bukan mencari sumber penyebab penyakitnya sehingga akhirnya menjadi penyakit kambuhan.
Untuk perlu upaya secara komprehensif dan berkelanjutan mengatasi bencana kekeringan. Pertama, pemerintah provinsi (pemprov) beserta wali kota/bupati sebagai pemegang kebijakan memanfaatkan dan mendayagunakan sumber-sumber air dan kearifan lokal mengatasi bahaya kekeringan. Termasuk yang masih terabaikan adalah pembenahan manajemen sumber daya air dan sistem irigasi. Setiap daerah pasti memiliki sungai atau sumber air. Ada pula yang mempunyai bendungan baik kategori besar, sedang, maupun kecil. Sumber daya air itulah yang mestinya bisa dioptimalkan kemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan air bersih serta irigasi atau pengairan lahan pertanian.
Kedua, mengoptimalkan sumbersumber air untuk berbagai kebutuhan. Cara sederhana yang bisa dipraktikkan adalah membuat embung (bak-bak penampung air hujan) dan sumur-sumur resapan, atau resapan dengan teknologi biopori. Jadi, ketika air berlimpah pada musim hujan disimpan di bak-bak atau tandon yang dibuat dengan standar tertentu agar memenuhi syarat kesehatan. Selain itu, menjaga daerah tangkapan air dan mempertahankan kelestarian hutan tak kalah penting karena menjadi penentu kuantitas dan kualitas sumber air.
Ketiga, El Nino merupakan fenomena iklim, di mana angin yang bertiup sangat kering dan miskin uap air yang pada akhirnya menyebabkan kekeringan. Kebalikannya La Nina, membawa curah hujan yang berlebih yang memicu banjir besar. El Nino dan La Lina akan makin sering terjadi di Indonesia seiring dengan makin kuatnya dampak perubahan iklim. Pemda perlu mengetahui berapa luas potensi lahan pertanian dan mempertahankan luasannya dari berbagai usaha alih fungsi lahan. Jangan sampai lahan pertanian yang potensial terairi sepanjang tahun berubah fungsi untuk keperluan lain.
Keempat, mengimbau petani tidak memaksakan diri untuk menanam padi apabila kondisi air makin sedikit. Lebih aman mengatur pola tanam dengan menanam palawija pada daerah yang sudah terbukti sulit air. Saat inilah perlunya penyuluhan kepada kelompok tani di daerah yang sering mengalami kekeringan. Tujuannya tak lain menentukan alternatif pola tanam yang tepat agar petani tidak terpuruk akibat gagal panen karena kekeringan seperti pengalaman tahun sebelumnya.
Kelima, BMKG perlu menyampaikan keadaan aktual, kecenderungan, serta teknologi adaptasi dan mitigasinya. Penyusunan sistem informasi kekeringan untuk alokasi, optimasi, dan pendayagunaan sumber daya antarsektor mendesak dilakukan. Pemerintah Provinsi Jateng harus memanfaatkan sistem informasi itu. Dengan memanfaatkan data citra satelit Landsat TM, luas lahan sawah, luas tanam, luas panen, indeks kebasahan, serta kemampuan produksi pangan, dapat diestimasi tiga bulan sebelumnya.
Integrasi data spasial, temporal, tabular, dan vektoral perubahan kekeringan memungkinkan pengambil kebijakan mengembangkan sistem informasi untuk berbagai keperluan, seperti tata ruang, manajemen alih fungsi lahan, produksi air, reboisasi, dan penghijauan, bahkan dalam peningkatan produksi pertanian.

Sutrisno | Wawasan Digital | 8 Agustus 2009

Minggu, 04 Desember 2011

LIMA TAHUN TRAGEDI LUMPUR LAPINDO: PERSPEKTIF GEOLOGI

Dr Andang Bachtiar
(Arema, Geologist merdeka, Ketua Dewan Penasehat IAGI, Chairman Exploration Think Tank Indonesia)

KILAS BALIK

Gunung lumpur (mud-volcano) adalah ekspresi permukaan tanah (dan bawah laut) dari munculnya endapan lumpur tekanan tinggi yg berasal dari bawah permukaan bumi. Seringkali gunung lumpur dikaitkan dengan penyebab alamiah geologis, karena sebelum kejadian semburan Lusi 29 Mei 2006, khasanah literatur geologi dunia jarang mendokumentasikan kasus munculnya gunung lumpur yang dipicu oleh kegiatan manusia. Karena kejadian munculnya gunung lumpur di Sidoarjo ini pertama kali di sekitar lokasi pemboran sumur Banjar Panji-1 yang pada waktu itu sedang mengalami masalah “loss”: dan “kick” disusul “underground blow-out” (semburan liar bawah permukaan), maka mengkaitkannya sebagai pemicu munculnya gunung lumpur tersebut adalah sangat logis.
Waktu pertama kali diwawancara oleh koran daerah Surabaya tentang hal ini, 2 Juni 2006, sayapun sudah mengatakan bahwa fenomena awal dari semburan lumpur tersebut adalah dikarenakan adanya semburan liar bawah permukaan karena waktu itu saya sempat meninjau lokasi dari pinggir jalan tol saat mudik ke Malang, kota kelahiran saya. Fenomena permukaannya hampir serupa dengan kejadian semburan liar pemboran yang saya alami sendiri waktu bekerja di Kalimantan Timur sebagai wellsite geologist Huffco 1985. Demikian juga pendapat awal dari ahli2 geologi dari Lapindo sendiri yang waktu itu sempat kontak2an dengan saya, dan juga keterangan di website EMP (yang sekarang sudah dihapus) yang menyebutkan bahwa terjadi komunikasi dari lubang bor ke pusat semburan yang berjarak beberapa ratus meter dari BJP-1 waktu dilakukan penanggulangan tekanan dari sumur. Pendapat tersebut kemudian diformalkan pertama kali dalam bentuk publikasi oleh Richard Davies dkk (2007) dalam jurnal GSA Today 17 (2): 4.
Seiring dengan waktu, geologist2 di Lapindo-pun mulai mengubah pandangannya. Bersama dengan geologist terkemuka dari BPMigas, dari Oslo dan Jepang yang difasilitasi untuk melakukan peninjauan – riset di daerah semburan dan sekitarnya, keluarlah publikasi-publikasi tandingan yang menyebutkan bahwa gempa, kematangan tektonik, dan – secara spesifik- gerak patahan mendatar yang menekan di daerah Porong lah yang menyebabkan munculnya gunung lumpur tersebut.
Seiring dengan waktu juga, sampai sekarang saya masih berpendapat bahwa proses pemboran di BJP-1 merupakan pemicu dari munculnya gunung lumpur Lusi, sejalan dengan argumen2 yang dipaparkan Davies dkk, dan juga pengamatan yang saya lakukan pada real time drilling charts yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian ke saya 2007-2008.

MEMATIKAN SEMBURAN?

Usaha teknis untuk mematikan semburan LuSi TIDAK BISA dipisahkan dari penanganan masalah sosialnya. HARUS MENJADI SATU PAKET. Kalau tidak, maka jangan pernah berpikir untuk mematikannya. Kalau masalah sosial seperti pembayaran ganti rugi yg terkatung2 karena pemerintah sangat toleran terhadap performance janji Lapindo tidak diberesi maka dijamin segala usaha keteknikan yg akan dilakukan akan mengalami hambatan di lapangan. Itulah yang terjadi sekarang ini. Biarpun konon kabarnya SBY mendapat bisikan banyak pihak dr luar maupun dalam yg terinspirasi oleh keberhasilan penanganan blow out di Montara (NWShelf) dan Horizon (Gulf of Mexico) untuk mulai berpikir lagi soal mematikan sumber semburan LuSi, tetap saja dia sbg presiden tidak bisa lari dr kenyataan bahwa penanganan masalah sosial di LuSI sampai skrg masih amburadul. Makanya dr awal2 seperti ini sebelum sang presiden dipengaruhi oleh banyak pihak untuk grusa-grusu mengadopsi keberhasilan kill well di NWShelf maupun GOM untuk LuSI, saya teriakkan ke mana-mana: beresi juga ganti rugi dan masalah2 sosial lainnya (pemindahan penduduk, pendidikan, jalan raya macet dsb). Jangan cuma fokus ngomong tinggi2 soal teknisnya. Biarlah masalah teknis dibicarakan dan direncanakan ahlinya, tapi masalah sosial harus dikawal dan dipaksakan sesegera mungkin untuk diberesi, supaya nantinya usaha teknis ini diridhloi dan tdk mendapat gangguan masyarakat
Berdasarkan kesepakatan teknis saintifik yg sdh bebrapa kali dibahas di level asosiasi profesi maupun dikalangan ahli lembaga2 pemerintah, disebutkan bahwa usaha teknis pertama yg hrs dilakukan dlm rangka menuju ke perencanaan killing source (bukan well, krn wellnya sudah tidak kliatan lagi?) dr LuSi ini adalah akusisi data seismik 3D dengan disain khusus spt yg sdh didisain oleh kawan2 BPPT dan Elnusa dan sdh diendorse oleh forum2 IAGI maupun HAGI dlm berbagai kesempatan dlm 2 tahun terakhir ini. Akusisi data baru ini menjadi sangat crucial krn akan memberikan gambaran baru tentang kondisi bawah permukaan dalam di bawah LuSi yg selama ini cuma bisa dikira2 saja oleh berbagai kalangan, termasuk oleh para drilling engineer yg mencoba merencanakan drilling program mematikan sumur BJP-1 (mrk menggunakan data2 engineering dr pemboran BJP-1, tp masih perlu dikuatkan oleh data terbaru 3D seismik untuk konfirmasi).
Integrasi data dan interpretasi 3D seismik baru tsb mutlak harus dilakukan dg data engineering dar BJP-1 maupun Relief well sesudahnya dan juga dr data geologi geofisik permukaan dangkal yg diakuisisi dalam 4 tahun erakhir ini.
Khusus untuk asosiasi profesi seperti IAGI, HAGI, dan IATMI, dimohon untuk tidak berat sebelah dalam mengungkapkan berbagai data teknis dan interpretasinya, jangan mengulang kesalahan2 sebelumnya yang hanya memihak pada satu sisi pendapat para ahli tertentu saja, padahal secara nyata berkembang argumen2 counter dr pendapat2 tersebut. Biarkanlah kedua-dua pendapat tersebut berkembang karena line of reasoning dr masing2 bisa jadi akan bermanfaat bagi rencana penanggulangan mematikan semburan ini nanti. Biarlah nanti di level pengambilan keputusan melakukan excercise yg disebut sbg: “probability atau uncertainity management”, yaitu mengambil keputusan berdasarkan ketidakpastian dr berbagai teori penyebab maupun kondisi situasi bawah permukaan-permukaan LuSi. Tentunya dalam sekuen pengambilan keputusannya terkandung azas manfaat lebih banyak drpd mudharat.

SAAT INI

Saat ini upaya untuk melihat sejauh mana kerusakan subsurface dg survei seismik 3dimensi sdg dlm tahap perencanaan, disain, sosialisasi, dan tender. Survei seismik 3D ini dibawah koordinasi dan bujet Badan Geologi ESDM, dibantu sukarela oleh IAGI/HAGI; harapannya:akhir 2011 image subusrface baru sdh ada, sehingga:
  • 1) Pihak2 yg merasa bhw semburan bisa dimatikan dg pemboran atau teknis lainnya bisa mengkongkritkan usulan dengan data bawah permukaan yg lebih jelas, bukan hanya asumsi2 saja (yg seringkali satu dg lainnya juga berbeda2), atau malah bisa juga membatalkannya krn melihat damage-nya sdh multi bidang, bkn hanya bidang tunggal; jadi “cost benefit”nya tidak matched
  • 2) Dapat dibuat analisis prediksi modeling subsidence/penurunan tanah, sampai di surface area mana kemungkinan terjadi kerusakan & seberapa tingkat bahayanya sehingga bisa dibuat peta resiko – zonasi yg baru – yg lebih update berdasar data subsurface, yg tdk hrs tiap thn diganti dg perpres spt selama ini terjadi.
  • 3) Ganti-rugi dan atau pemindahan penduduk untuk rencana pengelolaan jangka panjang area tsb menjadi “once for all” solution kalau menggunakan hasil no.2 di atas
Usulan saya: sudah saja semua penduduk yg terdampak di sekitar daerah tersebut ditambah dengan yang dr survei tim independen Provinsi Jatim tahun lalu dan dari hasil evaluasi hazard 3D nanti, semua diganti-rugi sampai selesai dg menggunakan duit yg ada (pinjaman dr pemerintah (?) yg nanti dibebankan pd Lapindo dan atau pengelola berikutnya)
Kemudian, daerah yang ditinggalkan dikelola oleh badan khusus (otorita?) untuk riset, wisata, maupun kegiatan eksplorasi lainnya bila memungkinkan…
Sangat mungkin nantinya bisa dilakukan lagi eksplorasi dan eksploitasi potensi cadangan migas di bawah daerah semburan lumpur tersebut. Karena probabilitas kehadiran cadangan migas (terutama gas) sangat besar disini. Lapindo atau siapapun yang berminat membantu pemerintah membereskan urusan ganti rugi dan evakuasi massal ini mungkin bisa berharap menghitung-hitung return dari investasi sosialnya saat ini.
Jakarta, 23 Mei 2011
ADB

Kronologi Bencana Lumpur Lapindo

Senin, 08 Januari 2009. 11:45 WIB
DOKMI/ip
01. Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa ini, sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil berjumlah 188 KK atau 725 Jiwa terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan Pasar Baru Porong. 02. Pada tanggal 7 Juni 2006, semburan lumpur panas semakin membesar dan mulai mendekati pinggir bagian Timur di Desa Siring sehingga mengancam pemukiman penduduk di desa tersebut. Kondisi ini terus memprihatinkan karena semakin hari debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar hingga akhirnya pada 7 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal pemukiman penduduk dusun Renomencil Desa Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring. Akibat dari peristiwa ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau ke rumah-rumah sanak famili yang tersebar di sejumlah tempat.
03. 10 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal persawahan bagian Selatan lokasi semburan yang berbatasan dengan Desa Jatirejo, di kawasan itu juga terdapat sejumlah pabrik.
04. 12 Juli 2006 lumpur panas mulai menggenangi areal pemukiman Desa Jatirejo dan Kedungbendo akibat tanggul-tanggul penahan lumpur di Desa Renokenongo dan Siring tidak mampu menahan debit lumpur yang semakin membesar.
05. Pada bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak kurang 25.000 jiwa mengungsi. Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur adalah lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon). Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit .
06. Memasuki akhir September 2006, Desa Jatirejo Wetan termasuk di sini dusun Jatianom, Siring Tangunan dan Kedungbendo, tenggelam akibat tanggul penahan lumpur di desa Siring dan Renokenongo kembali jebol.
07. 22 November 2006, pipa gas milik Pertamina meledak, yang menyebabkan 14 orang tewas (pekerja dan petugas keamanan) dan 14 orang luka-luka . Peristiwa meledaknya pipa Pertamina diceritakan oleh penduduk seperti kiamat karena ledakan yang sangat keras dan api ledakan yang membumbung sampai ketinggian 1 kilo meter. Penduduk panik dan berlarian tak tentu arah. Suasana sangat mencekam dan kacau balau . Sebelumnya telah ada peringatan bahwa akibat amblesnya tanggul yang tidak kuat menahan beban menyebabkan pipa tertekan sehingga dikhawatirkan akan meledak. Namun peringatan ini tidak diindahkan oleh pihak Pertamina. Peristiwa ini juga mengakibatkan tanggul utama penahan lumpur di desa Kedungbendo rusak parah dan tidak mampu menahan laju luapan lumpur. Dari peristiwa tersebut sejumlah desa di wilayah utara desa tersebut seperti, Desa Kali Tengah dan Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera Kecamatan Tanggulangin, mulai terancam akan tergenang lumpur.
08. 6 Desember 2006, Perumtas I dan II tergenang lumpur dengan ketinggian yang beragam. Di laporkan lebih dari 2000 jiwa harus mengungsi ke Pasar Baru Porong.
09. Memasuki Januari 2007, Perumtas I dan II sudah terendam seluruhnya.
10. Memasuki April 2007, lumpur dan air mulai merendam Desa Ketapang bagian Timur akibat luapan lumpur yang bergerak ke arah Barat menuju jalan raya Surabaya Malang gagal ditahan oleh tanggul-tanggul darurat di perbatasan antara desa Kedungbendo dan Desa Ketapang. Dilaporkan lebih dari 500 orang harus mengungsi ke Balai Desa Ketapang.
11. 10 Januari 2008, Desa Ketapang Barat dan Siring Barat terendam air dan lumpur akibat tanggul di sebelah Barat yang berdekatan dengan jalan raya Malang-Surabaya jebol karena tidak mampu menahan lumpur yang bercampur dengan air hujan. Dilaporkan sekitar lebih dari 500 orang mengungsi ke Pasar Porong atau ke sanak keluarga mereka yang terdekat.
12. Dengan demikian sampai November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/ atau terendam dan/ atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan, Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah. (*/OL-8)
sumber: Wakil Kepala Bidang Eksternal Komnas HAM Nur Kholis

LIMA TAHUN TRAGEDI LUMPUR LAPINDO: PERSPEKTIF GEOLOGI

Dr Andang Bachtiar
(Arema, Geologist merdeka, Ketua Dewan Penasehat IAGI, Chairman Exploration Think Tank Indonesia)

KILAS BALIK

Gunung lumpur (mud-volcano) adalah ekspresi permukaan tanah (dan bawah laut) dari munculnya endapan lumpur tekanan tinggi yg berasal dari bawah permukaan bumi. Seringkali gunung lumpur dikaitkan dengan penyebab alamiah geologis, karena sebelum kejadian semburan Lusi 29 Mei 2006, khasanah literatur geologi dunia jarang mendokumentasikan kasus munculnya gunung lumpur yang dipicu oleh kegiatan manusia. Karena kejadian munculnya gunung lumpur di Sidoarjo ini pertama kali di sekitar lokasi pemboran sumur Banjar Panji-1 yang pada waktu itu sedang mengalami masalah “loss”: dan “kick” disusul “underground blow-out” (semburan liar bawah permukaan), maka mengkaitkannya sebagai pemicu munculnya gunung lumpur tersebut adalah sangat logis.
Waktu pertama kali diwawancara oleh koran daerah Surabaya tentang hal ini, 2 Juni 2006, sayapun sudah mengatakan bahwa fenomena awal dari semburan lumpur tersebut adalah dikarenakan adanya semburan liar bawah permukaan karena waktu itu saya sempat meninjau lokasi dari pinggir jalan tol saat mudik ke Malang, kota kelahiran saya. Fenomena permukaannya hampir serupa dengan kejadian semburan liar pemboran yang saya alami sendiri waktu bekerja di Kalimantan Timur sebagai wellsite geologist Huffco 1985. Demikian juga pendapat awal dari ahli2 geologi dari Lapindo sendiri yang waktu itu sempat kontak2an dengan saya, dan juga keterangan di website EMP (yang sekarang sudah dihapus) yang menyebutkan bahwa terjadi komunikasi dari lubang bor ke pusat semburan yang berjarak beberapa ratus meter dari BJP-1 waktu dilakukan penanggulangan tekanan dari sumur. Pendapat tersebut kemudian diformalkan pertama kali dalam bentuk publikasi oleh Richard Davies dkk (2007) dalam jurnal GSA Today 17 (2): 4.
Seiring dengan waktu, geologist2 di Lapindo-pun mulai mengubah pandangannya. Bersama dengan geologist terkemuka dari BPMigas, dari Oslo dan Jepang yang difasilitasi untuk melakukan peninjauan – riset di daerah semburan dan sekitarnya, keluarlah publikasi-publikasi tandingan yang menyebutkan bahwa gempa, kematangan tektonik, dan – secara spesifik- gerak patahan mendatar yang menekan di daerah Porong lah yang menyebabkan munculnya gunung lumpur tersebut.
Seiring dengan waktu juga, sampai sekarang saya masih berpendapat bahwa proses pemboran di BJP-1 merupakan pemicu dari munculnya gunung lumpur Lusi, sejalan dengan argumen2 yang dipaparkan Davies dkk, dan juga pengamatan yang saya lakukan pada real time drilling charts yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian ke saya 2007-2008.

MEMATIKAN SEMBURAN?

Usaha teknis untuk mematikan semburan LuSi TIDAK BISA dipisahkan dari penanganan masalah sosialnya. HARUS MENJADI SATU PAKET. Kalau tidak, maka jangan pernah berpikir untuk mematikannya. Kalau masalah sosial seperti pembayaran ganti rugi yg terkatung2 karena pemerintah sangat toleran terhadap performance janji Lapindo tidak diberesi maka dijamin segala usaha keteknikan yg akan dilakukan akan mengalami hambatan di lapangan. Itulah yang terjadi sekarang ini. Biarpun konon kabarnya SBY mendapat bisikan banyak pihak dr luar maupun dalam yg terinspirasi oleh keberhasilan penanganan blow out di Montara (NWShelf) dan Horizon (Gulf of Mexico) untuk mulai berpikir lagi soal mematikan sumber semburan LuSi, tetap saja dia sbg presiden tidak bisa lari dr kenyataan bahwa penanganan masalah sosial di LuSI sampai skrg masih amburadul. Makanya dr awal2 seperti ini sebelum sang presiden dipengaruhi oleh banyak pihak untuk grusa-grusu mengadopsi keberhasilan kill well di NWShelf maupun GOM untuk LuSI, saya teriakkan ke mana-mana: beresi juga ganti rugi dan masalah2 sosial lainnya (pemindahan penduduk, pendidikan, jalan raya macet dsb). Jangan cuma fokus ngomong tinggi2 soal teknisnya. Biarlah masalah teknis dibicarakan dan direncanakan ahlinya, tapi masalah sosial harus dikawal dan dipaksakan sesegera mungkin untuk diberesi, supaya nantinya usaha teknis ini diridhloi dan tdk mendapat gangguan masyarakat
Berdasarkan kesepakatan teknis saintifik yg sdh bebrapa kali dibahas di level asosiasi profesi maupun dikalangan ahli lembaga2 pemerintah, disebutkan bahwa usaha teknis pertama yg hrs dilakukan dlm rangka menuju ke perencanaan killing source (bukan well, krn wellnya sudah tidak kliatan lagi?) dr LuSi ini adalah akusisi data seismik 3D dengan disain khusus spt yg sdh didisain oleh kawan2 BPPT dan Elnusa dan sdh diendorse oleh forum2 IAGI maupun HAGI dlm berbagai kesempatan dlm 2 tahun terakhir ini. Akusisi data baru ini menjadi sangat crucial krn akan memberikan gambaran baru tentang kondisi bawah permukaan dalam di bawah LuSi yg selama ini cuma bisa dikira2 saja oleh berbagai kalangan, termasuk oleh para drilling engineer yg mencoba merencanakan drilling program mematikan sumur BJP-1 (mrk menggunakan data2 engineering dr pemboran BJP-1, tp masih perlu dikuatkan oleh data terbaru 3D seismik untuk konfirmasi).
Integrasi data dan interpretasi 3D seismik baru tsb mutlak harus dilakukan dg data engineering dar BJP-1 maupun Relief well sesudahnya dan juga dr data geologi geofisik permukaan dangkal yg diakuisisi dalam 4 tahun erakhir ini.
Khusus untuk asosiasi profesi seperti IAGI, HAGI, dan IATMI, dimohon untuk tidak berat sebelah dalam mengungkapkan berbagai data teknis dan interpretasinya, jangan mengulang kesalahan2 sebelumnya yang hanya memihak pada satu sisi pendapat para ahli tertentu saja, padahal secara nyata berkembang argumen2 counter dr pendapat2 tersebut. Biarkanlah kedua-dua pendapat tersebut berkembang karena line of reasoning dr masing2 bisa jadi akan bermanfaat bagi rencana penanggulangan mematikan semburan ini nanti. Biarlah nanti di level pengambilan keputusan melakukan excercise yg disebut sbg: “probability atau uncertainity management”, yaitu mengambil keputusan berdasarkan ketidakpastian dr berbagai teori penyebab maupun kondisi situasi bawah permukaan-permukaan LuSi. Tentunya dalam sekuen pengambilan keputusannya terkandung azas manfaat lebih banyak drpd mudharat.

SAAT INI

Saat ini upaya untuk melihat sejauh mana kerusakan subsurface dg survei seismik 3dimensi sdg dlm tahap perencanaan, disain, sosialisasi, dan tender. Survei seismik 3D ini dibawah koordinasi dan bujet Badan Geologi ESDM, dibantu sukarela oleh IAGI/HAGI; harapannya:akhir 2011 image subusrface baru sdh ada, sehingga:
  • 1) Pihak2 yg merasa bhw semburan bisa dimatikan dg pemboran atau teknis lainnya bisa mengkongkritkan usulan dengan data bawah permukaan yg lebih jelas, bukan hanya asumsi2 saja (yg seringkali satu dg lainnya juga berbeda2), atau malah bisa juga membatalkannya krn melihat damage-nya sdh multi bidang, bkn hanya bidang tunggal; jadi “cost benefit”nya tidak matched
  • 2) Dapat dibuat analisis prediksi modeling subsidence/penurunan tanah, sampai di surface area mana kemungkinan terjadi kerusakan & seberapa tingkat bahayanya sehingga bisa dibuat peta resiko – zonasi yg baru – yg lebih update berdasar data subsurface, yg tdk hrs tiap thn diganti dg perpres spt selama ini terjadi.
  • 3) Ganti-rugi dan atau pemindahan penduduk untuk rencana pengelolaan jangka panjang area tsb menjadi “once for all” solution kalau menggunakan hasil no.2 di atas
Usulan saya: sudah saja semua penduduk yg terdampak di sekitar daerah tersebut ditambah dengan yang dr survei tim independen Provinsi Jatim tahun lalu dan dari hasil evaluasi hazard 3D nanti, semua diganti-rugi sampai selesai dg menggunakan duit yg ada (pinjaman dr pemerintah (?) yg nanti dibebankan pd Lapindo dan atau pengelola berikutnya)
Kemudian, daerah yang ditinggalkan dikelola oleh badan khusus (otorita?) untuk riset, wisata, maupun kegiatan eksplorasi lainnya bila memungkinkan…
Sangat mungkin nantinya bisa dilakukan lagi eksplorasi dan eksploitasi potensi cadangan migas di bawah daerah semburan lumpur tersebut. Karena probabilitas kehadiran cadangan migas (terutama gas) sangat besar disini. Lapindo atau siapapun yang berminat membantu pemerintah membereskan urusan ganti rugi dan evakuasi massal ini mungkin bisa berharap menghitung-hitung return dari investasi sosialnya saat ini.
Jakarta, 23 Mei 2011
ADB

Masyarakat Sekitar Diminta Waspadai Tanggul Lumpur Lapindo

Nasional / Minggu, 18 September 2011 17:18 WIB
(Foto Antara)
Metrotvnews.com, Sidoarjo: Pemerintah Provinsi Jawa Timur meminta kepada warga masyarakat mewaspadai tanggul penahan lumpur Lapindo menyusul terjadinya longsoran lumpur di dalam kolam penampungan. Saat ini segala kewenangan terhadap segala kemungkinan yang ada di tanggul penahan lumpur menjadi beban Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
“Segala bentuk teknis terkait dengan kondisi di tanggul penanggulangan lumpur tersebut menjadi tanggung jawab BPLS yang memahami kondisi di lapangan,” kata Wakil Gubernur Jawa Timur, Saifulah Yusuf di Sidoarjo usai menghadiri peringatan Hari Jadi ke-13 Partai Amanat Nasional (PAN) di salah satu hotel di Sidoarjo, Ahad (18/9).
Ia mengemukakan, terkait dengan kondisi di Jalan Raya Porong, dirinya mengaku masih belum perlu dilakukan penutupan, mengingat kondisi tanggul masih cukup bagus. “Kami menyerahkan sepenuhnya kepada BPLS terkait diperlukan atau tidak penutupan Jalan Raya Porong pascaterjadinya longsoran lumpur di dalam kolam penampungan,” katanya.
Sementara itu BPLS terus melakukan proses peninggian tanggul penahan lumpur di kawasan Siring pascaterjadinya longsoran lumpur di dalam kolam penampungan. Peninggian tanggul dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya luberan lumpur dari kolam penampungan menyusul ketinggian tanggul yang hanya sebelas meter.
Peninggian itu dilakukan dengan menggunakan tiga alat berat yang ditempatkan di lokasi tanggul penahan lumpur. Selain melakukan peninggian tanggul, BPLS juga melakukan sudetan di dalam kolam penampungan lumpur untuk mengalirkan lumpur ke lokasi lain yang masih memungkinkan.
Dengan demikian beban lumpur yang berada di kolam penampungan di kawasan Siring yang mengalami longsoran bisa berkurang dan tidak membahayakan Jalan Raya Porong.(Ant/BEY)

Lumpur Lapindo Dapat Dikategorikan Sebagai Bencana Alam

Jakarta (ANTARA News) – Semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang telah menimpa lebih dari 1.200 jiwa, sudah dapat dikategorikan sebagai bencana alam, karena fakta di lapangan terdapat banyak titik semburan yang jauh dari lokasi pengeboran.

“Titik-titik semburan itu tampaknya terus meluas, sekitar 2 km dari lokasi pengeboran, sehingga luapan lumpur di Sidoarjo dapat dikategorikan sebagai bencana alam,” kata Direktur Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam BBPT, Yusuf Surachman, di Jakarta, Sabtu.
Menurutnya, semburan Lumpur Panas Sidoarjo (LUSI) merupakan sebuah fenomena alam yang perlu disikapi secara wajar. Jarang terjadi kejadian dalam suatu pengeboran minyak dan tambang, kemudian keluar lumpur dari lapisan bawah tanah yang cukup tebal yang berisi lempung (shale) bertekanan tinggi dari tekanan hidrostatis dan terus bergerak (mobile) yang temperaturnya mencapai 100 derajat celcius di permukaan, dan keluar terus menerus. Hal itu baru saya lihat di Sidoarjo, katanya.
Para ahli geologi dan geofisika juga berksimpulan bahwa lumpur panas Sidoarjo berasal dari batuan gunung api dengan temperatur dan tekanan tinggi berumur sekitar 4,9 juta tahun dan diendapkan pada lingkungan laut.
Dikatakannya para ahli itu juga sepakat untuk mengatakan semburan lumpur panas tersebut merupakan proses pembentukan “mud vulcano”, yang semburannya akan terus berjalan dan bertambah dan tidak akan berhenti dalam waktu singkat.
“Semburan itu akan terus berjalan karena di dalam lapisan bumi sepertinya ada gunung lumpur yang bercampur dengan gas dan fluida,” katanya.
Dari data seismik, yang kemudian dihitung, katanya, total volume lumpur secara keseluruhan diperkirakan sebesar 1.55 miliar m3 . Apa bila debit semburan lumpur diperkirakan sebesar 100.000 m3 per hari, maka semburan lumpur di Sidoarjo akan berhenti setelah 31 tahun.
“Waktu berhenti cukup lama jika tidak ada upaya yang lebih sistematis, karena tergantung juga tekanan hidrostastiknya,” katanya, seraya menambahkan pada akhirnya akan terjadi subsidance (penurunan permukaan tanah) di sekitar pusat semburan lumpur yang terjadi secara terus menerus itu.
Masalah penanggulangan
Menjawab pertanyaan, ia mengemukakan untuk menanggulangi ada beberapa pilihan, yakni memanggil para ahli geologi dan geofisika untuk mempercepat penghentian semburan, mengalirkan lumpur-lumpur itu ke laut untuk meminimalisasi korban manusia yang lebih besar dan melakukan rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur yang rusak agar dapat normal kembali, seperti pembuatan jalan dan jembatan yang rusak.
Sementara itu, anggota tim nasional penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo, Sofyan Hadi menambahkan pihaknya membuka seluas-luasnya kepada masyarakat yang mempunyai ide terbaik dalam penanggulangan bencana alam itu. Akan tetapi lanjutnya, ide yang masuk kedalam tim nasional itu sulit untuk diimplementasikan.
Dicontohkannya, ada pihak asing ( konsultan dari Russia .. red) mengajukan proposal untuk menghentikan semburan lumpur. Ketika ditanya berapa banyak biochemical (zat kimia) yang harus diinjeksikan kedalam bumi untuk mengempalkan lumpur itu, bagaimana mendistribusikannya zat itu dan adakah jaminan setelah biaya dikeluarkan terjadi kegagalan.
Lumpur Lapindo: Melihat Bencana Alam dalam Bingkai Budaya?
Oleh : R Muhammad Mulyadi.S.S.,M.Hum
Kajian mengenai peristiwa lumpur Lapindo banyak dibahas dari segi geologi,
ekonomi, hukum, sosial, dan politik. Hampir tidak ada kajian lumpur Lapindo dari
segi budaya. Memang masalah lumpur Lapindo banyak berkaitan dengan masalahmasalah
di luar budaya. Akan tetapi peristiwa lumpur Lapindo sebenarnya juga dapat
dilihat dari sisi budaya. Beberapa kajian budaya yang berkaitan dengan bencana alam
di antaranya adalah mengenai; pandangan masyarakat mengenai sebab-sebab
terjadinya bencana alam, serta pandangan masyarakat Jawa (sebagai korban)
terhadap tanah dan tempat tingalnya.
Selain itu, selama ini pencegahan bahaya bencana alam dan penanganan
pasca bencana juga lebih banyak dibahas oleh bidang kajian non-budaya. Kemudian
muncul pertanyaan, apakah sumbangan kajian budaya dalam menangani bencana
alam?
Pandangan Masyarakat Mengenai Sebab-sebab Bencana
Sebelum “sepakat” ditulis dengan istilah lumpur Lapindo dalam berbagai
media massa, istilah untuk bencana alam meluapnya lumpur yang terjadi di
kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo sering disebut media massa sebagai Lumpur
Sidoarjo. Disingkat dengan Lusi. Penulisan bencana tersebut dengan istilah lumpur
Sidoarjo, menyatakan bahwa tempat terjadinya bencana lumpur lebih penting
daripada penyebab terjadinya bencana tersebut. Dengan kata lain, penulisan tersebut
telah menomorduakan penyebab bencana yaitu PT Lapindo Brantas. Sementara itu,
penulisan lumpur Lapindo lebih mengutamakan penyebab terjadinya bencana
tersebut. Dalam tulisan ini menggunakan istilah lumpur Lapindo dengan alasan ingin
menekankan bahwa bencana tersebut merupakan sesuatu yang disebabkan oleh
kelalaian manusia. Dalam hal ini adalah PT Lapindo.
Dalam sejarah, kepercayaan masyarakat Indonesia mengenai terjadinya suatu
bencana alam lebih sering dipandang sebagai sesuatu peristiwa yang disebabkan oleh
ulah manusia yang melanggar tabu atau sering berbuat dosa. Sang Pencipta
kemudian menurunkan bencana sebagai suatu bentuk hukuman atau peringatan
karena manusia sudah tidak menghiraukan larangannya. Bentuk bencana pada
umumnya dapat berupa banjir, gunung meletus, kecelakaan, dan wabah penyakit.
Akan tetapi, dalam kepustakaan sejarah Indonesia belum ditemukan bahwa Sang
Pencipta “menghukum” umatnya dengan banjir lumpur. Terlebih oleh lumpur yang
muncul dari dalam tanah, bukan yang disebabkan oleh banjir, luapan dari sungai,
atau lava yang disebabkan ledakan gunung berapi. Dengan demikian, apabila
peristiwa Lapindo ini dianggap sebagai suatu hukuman atau peringatan dari Sang
Pencipta, maka inilah hukuman yang bersejarah bagi umat manusia di Indonesia.
Pandangan masyarakat Indonesia mengenai bencana alam di atas penulis
sebut sebagai suatu pandangan yang bersifat agamawi. Sang Pencipta atau kekuatan
di luar manusia lah penyebab segala sesuatu bencana di muka bumi ini.
Akan tetapi, pandangan tersebut bukanlah satu-satunya pendapat yang
mewakili pandangan masyarakat Indonesia. Pandangan lainnya dalam melihat
bencana alam adalah disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh manusia.
Artinya, manusia lah penyebab dari segala bencana alam yang terjadi. Hal itu
disebabkan oleh kelalaian manusia dalam menjaga kelestarian, keseimbangan alam
atau merusak alam secara tanpa sadar, sengaja, atau bahkan terstruktur. Pandangan
ini penulis sebut sebagai gejala duniawi. Bukan “kutukan” atau cobaan sang
Pencipta, tetapi manusia sendiri lah penyebabnya. Sesuatu yang dapat diterangkan
akal sehat yang dicari, bukan berdasarkan keyakinan atau sistem kepercayaan
semata.
Pada beberapa kasus bencana alam yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini,
seperti bencana tsunami di Aceh dan Nias, gempa bumi di Yogyakarta dan banjir di
Jakarta menampakkan bahwa pandangan sebagian masyarakat Indonesia mengenai
bencana alam telah bergeser dari unsur agamawi menjadi lebih ke unsur duniawi. Hal
itu terlihat dari munculnya berbagai analisis ilmiah yang muncul di berbagai media
massa elektronik dan cetak yang mencoba menjelaskan sebab-sebab terjadinya suatu
bencana alam.
Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah semakin rasional.
Meskipun demikian, unsur-unsur agamawi tidak sepenuhnya hilang. Masih nampak
hal-hal yang menandai unsur-unsur agamawi dalam melihat kasus lumpur Lapindo.
Dalam kasus lumpur Lapindo pandangan masyarakat yang duniawi dan
agamawi nampaknya berjalan beriringan. Dalam pandangan duniawi bencana
semburan lumpur disebabkan oleh kelalaian dalam pengoperasian ladang gas. PT
Lapindo Brantas sebagai pengelola, lalai memasang cashing pengaman. Bukan
disebabkan gempa di Yogyakarta dan sekitarnya dengan kekuatan 6,2 skala richer,
yang terjadi beberapa waktu sebelum bencana lumpur Lapindo terjadi. Dalam
pandangan agamawi atau lebih khusus di sini ditekankan sebagai unsur kepercayaan
terhadap sesuatu yang berupa ramalan, maka muncul pula pandangan bahwa inilah
suatu titik mula pulau Jawa akan terpecah menjadi dua. Persis ramalan seorang tokoh
para normal yang dikutip di berbagai media.
Mengenai penyikapan terhadap bencana ini juga dapat dilihat dari sudut
duniawi dan agamawi. Dalam pandangan duniawi lumpur Lapindo terjadi akibat
kelalaian perusahaan, sehingga para korban berupaya meminta ganti rugi ke
perusahaan yang menyebabkan terjadinya musibah tersebut.
Dalam pandangan agamawi misalnya terlihat pada sholat Idul Fitri 1427 H
yang diikuti ratusan warga korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc di atas tanggul
penampungan di Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Senin pagi (23/10).
Dalam khotbahnya, KH Maksum Subaeri, seorang tokoh masyarakat dan salah satu
pimpinan pondok pesantren di Desa Jatirejo, mengajak seluruh warga korban luapan
lumpur Lapindo untuk senantiasa tabah menghadapi cobaan dari Allah SWT. "Semua
yang kita miliki adalah titipan Allah SWT dan kita serahkan semua kepada-Nya,"
ucap KH Maksum. Desa Jatirejo merupakan salah satu dari delapan desa di
Kecamatan Porong, Tanggulangin dan Jabon, Sidoarjo yang paling parah terkena
dampak luapan lumpur Lapindo1.
1 EL. Suasana Haru Warnai Sholat Ied Korban Lumpur Lapindo. http://www.gatra.com/2006-10-
24/artikel. php?id=98896. 24 Oktober 2006.
Sikap Masyarakat
Keterikatan masyarakat Jawa dengan tanahnya dapat direpresentasikan
melalui salah satu pepatahnya mengenai kedudukan tanah bagi orang Jawa. Pepatah
tersebut adalah sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati. Pepatah ini secara harfiah
berarti satu sentuhan dahi, satu jari (lebar)-nya bumi bertaruh kematian. Secara luas
pepatah tersebut berarti satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas
tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati).
Pepatah di atas sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah dan
kehormatan atau harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting.
Bahkan orang pun sanggup membela semuanya itu dengan taruhan nyawanya.
Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai
penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walapun luasnya
hanya selebar satu jari tangan. Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai
wanita/pria yang telah syah mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau
disentuh oleh orang lain. Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah
lambang kehormatan atau harga diri.
Artinya, keduanya itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau
tampak mata semata, tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu identik
dengan harga diri atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar, maka mereka akan
mempertaruhkannya dengan nyawa mereka.
Selain masalah kehormatan, tanah dan tempat tinggal merupakan lingkungan
budaya yang penting bagi masyarakat Jawa. Ikatan emosional terhadap lingkungan
budaya terutama di rasakan pada masyarakat pedesaan. Dengan keterampilan bertani,
desa merupakan tempat masyarakatnya mencari penghidupan, satu desa merupakan
wilayah tempat tinggal seseorang dan juga kerabat-kerabatnya. Leluhur mereka pun
di makamkan di dalam lingkungan desa. Tali puser (ari-ari) mereka tanam di desa.
Bagi masyarakat Jawa, tempat di tanamnya ari-ari dipercayai sebagai suatu tempat
yang akan selalu dirindukan. Kondisi-kondisi tersebut menjadi basis eksplanasi
kenapa masyarakat Jawa begitu kuat ikatannya dengan desa dan lingkungan yang
menjadi tempat tinggalnya. Hal itu pula yang dapat menjelaskan kenapa masyarakat
Jawa akan beramai-ramai pulang kampung bila ada kesempatan, terutama pada hari
raya. Tidak peduli betapa sulit perjalanannya dan memerlukan ongkos yang mahal.
Persoalannya dalam kasus lumpur Lapindo, tanah penduduk hilang bukan
karena dirampas atau diganggu oleh seseorang ataupun penguasa. Hilangnya tanah
pertanian dan tempat tinggal penduduk disebabkan kelalaian suatu perusahaan,
bukan karena akan mendirikan pabrik atau membangun jalan. Tetapi oleh sesuatu
yang dikategorikan musibah. Apabila hilangnya lahan mereka disebabkan oleh
bencana alam murni, mungkin mereka tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Bencana
alam yang muncul lebih disebabkan oleh kelalaian perusahaan. Akibatnya,
pandangan orang Jawa mengenai sadhumuk bahtuk ini masih terlihat dalam kasus
lumpur Lapindo. Karena dianggap ada pihak yang telah mengganggu tanah dan
tempat tinggalnya. Memang tidak memperlihatkan aksi balas dendam karena
kehormatannya merasa terganggu, tetapi ketabahan dan keuletan mereka dalam
meminta ganti rugi menampakkan pandangan sadhumuk bathuk tersebut. Berbagai
upaya mereka jalani agar hak mereka atas tanah dapat diganti, mulai dari unjuk rasa
ke PT Lapindo Brantas, Bupati Sidoardjo. Bahkan mereka tidak segan untuk
meminta perhatian dan bantuan pemerintah pusat dengan langsung mendatangi
presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun berupaya dihalang-halangi oleh
aparat kepolisian.
Sebagian masyarakat Porong menyadari bahwa akan muncul kesulitan
apabila mereka tetap mengharapkan keadaan tanah dan tempat tinggalnya dapat
kembali ke keadaan sebelum terjadinya bencana. Seandainya luapan lumpur berhenti
pun, pemetaan kembali wilayah bukan masalah yang mudah. Karena kondisi wilayah
Porong-Sidoradjo saat ini telah menjadi lautan lumpur. Akan tetapi, karena ikatan
budaya seperti yang dijelaskan di atas masih ada sekelompok masyarakat yang
masih mengharapkan untuk dapat menempati tempat tinggalnya kembali.
Memperhatikan hal tersebut, nampaknya perlu dilihat bahwa wilayah Porong-
Sidoarjo bukanlah homogen. Ada wilayah pertanian dan ada juga wilayah industri.
Wilayah pertanian meliputi desa-desa dan wilayah industri meliputi pinggiran kota.
Meskipun tidak dilakukan penelitian mendalam mengenai pilihan masyarakat di
kedua kelompok tersebut, melalui pengamatan selintas dapat diketahui bahwa
kelompok masyarakat pedesaan lebih memilih untuk mencoba bertahan daripada
kelompok masyarakat pinggiran kota. Selain alasan budaya, masyarakat pedesaan
mencoba bertahan karena alasan mencari lahan pengganti untuk pertanian tidaklah
mudah. Oleh karena itu mereka bergotong royong untuk membuat tanggul penahan
lumpur atau mengalihkan aliran lumpur. Sementara bagi masyarakat yang tinggal di
wilayah industri dan mata pencahariannya berkaitan dengan industri, akan lebih
mudah meninggalkan tempat tinggalnya. Dengan harapan dapat menemukan
kesempatan kerja di wilayah lain, meskipun kesempatan kerja sangat terbatas. Kalau
tidak dikatakan sangat sulit.
SatuDunia, Jakarta. Jika COP 17 masih menyepakati skema offset, maka 65% upaya reduksi emisi akan menjadi tanggung jawab negara berkembang, termasuk Indonesia

Konferensi Perubahan Iklim Dunia (COP) 17 di Durban, Afrika Selatan, pada 28 November – 9 Desember 2011 nanti dikhawatirkan akan menjadi ajang pemerintah Indonesia untuk menggalang pendanaan iklim dari skema utang dan proyek-proyek iklim yang mengarah pada skema offset dan mengancam keselamatan warga serta lingkungan. Upaya ini hanya akan menjauhkan upaya Indonesia dari prinsip-prinsip keadilan iklim.
Sejak 1992,  sekitar 154 negara yang menghadiri KTT Bumi di Rio de Jeneiro, Brazil sepakat menandatangani Konvensi Perubahan Iklim, yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK). Negara-negara penghasil GRK (Negara Annex-1) diwajibkan memikul tanggung jawab lebih dalam penanggulangan perubahan iklim, yang dituangkan dalam Protokol Kyoto.
Sayangnya sejak Protokol Kyoto disepakati pada 16 Februari 2005, tidak nampak kemajuan berarti yang memberikan manfaat bagi warga. Sebaliknya, emisi GRK dari negara-negara Annex-1 terus menanjak.
Padahal pada 16 Februari 2012, komitmen pertama berlakunya Protokol Kyoto, akan berakhir. Namun emisi karbon justru makin meroket hingga 45 % antara tahun 1990 hingga 2010, dan mencapai rekor tertinggi sebesar 33 miliar ton pada 2010.
Akibatnya, musim tak tentu, gelombang laut yang tinggi, juga bencana yang makin kerap datang banyak berkait dengan krisis iklim. Kiara mencatat sebanyak 68 nelayan meninggal dunia di laut akibat cuaca ekstrem pada periode Januari - September 2010. Bahkan sejak Januari 2011 terdapat 550 ribu nelayan di 53 kabupaten/kota berhenti melaut karena cuaca ekstrim. Belum lagi petani yang menghadapi ketidakpatian musim juga hama tanaman baru yang berkait dengan krisis iklim.
Sayangnya respon Indonesia membuat warganya makin rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dalam negosiasi-negosiasi Iklim Indonesia justru melemah memperjuangkan keadilan iklim. Prinsip Keadilan Iklim, yaitu keselamatan warga, utang ekologis, hak atas lahan dan pola yang adil dalam produksi dan konsumsi, justru ditinggalkan pemerintah. Tak heran, jika kemudian Indonesia membuka pintunya lebar untuk proyek-proyek penurunan emisi, yang berpotensi 0ffset . Pembicaraan skema offset ini akan menjadi agenda COP 17 Durban.
Jika COP 17 menyepakati skema offset, maka 65% upaya reduksi emisi akan menjadi tanggung jawab Negara berkembang.  Indonesia akan menderita ganda, sebagai Negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, juga Negara yang dikorbankan mencuci dosa negara-negara industri yang mencemari atmosfer bumi.
Skema offset ini berpotensi dilakukan pada proyek-proyek mitigasi. Projek-proyek mitigasi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan Indonesia belum siap menghadapi perubahan Iklim global.  Kecenderungannya, projek uji coba mitigasi justru memperburuk kondisi masyarakat.  Misalnya, 9 November 2011, KFCP, salah satu proyek uji coba unggulan mendapat kritik karena tidak menepati janji, termasuk tenggat waktu yang mereka janjikan.
Harusnya pemerintah menghentikan penggalangan dana iklim melalui skema utang. Saat ini, sekitarUS$ 2,9 Milyar pendanaan iklim berasal dari skema utang.  Hasil penelitian WALHI tentang tata kelola pendanaan iklim di sektor kehutanan menunjukkan hanya pemilik modal yang diuntungkan dengan skema-skema yang dikembangkan. Menjadi pertanyaan besar, proyek-proyek mitigasi yang jumlahnya  lebih dari dua lusin di Indonesia sesuai peruntukkannya dan  bermanfaat mengurangi emisi. Khususnya jika dikaitkan dengan masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan yang bergantung hidupnya dari hutan.
Sementara sebagai negara kepulauan, upaya adaptasi mestinya menjadi agenda utama yang diperjuangkan Indonesia dalam dua tingkatan. Di tingkat global, melalui COP 17, menghentikan upaya mekanisme perdagangan karbon, seperti inisiatif”Karbon Biru” yang disokong UNEP,FAO,IUCN, CSIC dan IOC/UNESCO. Kedua, di nasional, negara segera menghentikan praktek pembangunan tak ramah lingkungan, seperti reklamasi pantai, konversi hutan mangrove untuk perluasan perkebunan sawit dan industri pertambakan, serta pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang merampas ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat, baik di darat maupun di laut yang berujung kian terancamnya keselamatan warga oleh bencana.
COP 17 di Durban harusnya menjadi Forum menemukan solusi dan formulasi yang tepat mengurangi efek gas rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global dan menghadapi dampak perubahan iklim. Namun, jika pendekatan yang dilakukan di atas tak berubah, maka sudah tentu jalan sesat yang akan ditawarkan, solusipun hanya akan jadi dongeng belaka.

Pemerintah Indonesia haru segera mengumumkan terbuka delegasi dan agenda yang diperjuangkan pada negosiasi COP 17. Indonesia harusnya bersikap tegas dan memimpin negara-negara selatan memperjuangkan prinsip-prinsip keadilan iklim.
Sumber : Release Media WALHI, KIARA dan Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF), 24 November 2011
SatuDunia, Jakarta. Maraknya reklamasi pesisir pantai Indonesia membuat  masa depan lingkungan pesisir dan kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut makin runyam

Saat ini nasib pesisir Indonesia menghadapi ancaman serius. Reklamasi pantai yang mengancam keseimbangan alam serta menyingkirkan nelayan dari ruang hidupnya makin masif dilakukan. Di pulau Jawa, reklamasi terjadi di Jakarta, Semarang dan Pantai Kenjeran Suarabaya. Di luar pulau Jawa juga marak. Seperti pembangunan Padang Bay City di Sumatera Barat, juga di Teluk Lampung.
Di kawasan tengah dan timur Indonesia,  reklamasi terjadi diTeluk Balikpapan, Kalimantan Timur; Pantai Losari dan Pantai Buloa, Sulawesi Selatan; Pantai Kalasey dan Teluk Manado di Sulawesi Utara; Teluk Tolo dan Palu, Reef Tiaka dan Bahodopi hingga jalan lingkar Kota Toli-Toli dan Palu Donggala di Sulawesi Tengah; Teluk Kendari, Teluk Bau-Bau, dan Menui, Kepulauan Sulawesi Tenggara; dan, kawasan Pantai Manakara di Sulawesi Barat.
Juga di Pulau Serangan dan Pantai Mertasari, Bali; Pulau Ternate dan Tidore, Maluku Utara; pelabuhan tambang PT. NNT Tanjung Luar NTB; dan Teluk Kupang, NTT. Dan yang sedang direncanakan di Teluk Kendari, penimbunan sempadan pantai untuk kebutuhan pelabuhan pertambangan, rencana reklamasi Pantai Ampenan dan pembangunan Mandalika Resort di Nusa Tenggara Barat.
Proyek reklamasi ini didukung oleh paket Kebijakan, yakni: UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing; UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang; UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Diperluas melalui upaya pencabutan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pembaruan Agraria yang tegas menjamin hak demokratis rakyat atas sumber-sumber agraria dengan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Reklamasi pantai telah mengubah bentang alam dan aliran air  di kawasan tersebut. Potensi banjir akibat proyek reklamasi itu akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut (rob) dan ancaman dampak perubahan iklim.
Dampak sosial ekonomi yang paling terasa adalah intimidasi dan pengusiran terhadap nelayan di seluruh wilayah yang terkena proyek reklamasi. Nelayan tradisional tergusur dari sumber-sumber kehidupan dan hilangnya akses nelayan melaut—berujung pada meningkatnya kantong-kantong kemiskinan di kawasan kota-kota pesisir. 
Pemerintah saat ini tidak mempunyai kepedulian akan masa depan lingkungan pesisir dan kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Sikap pembiaraan pemerintah terhadap pelaku kejahatan lingkungan di perairan pesisir makin sering terjadi. Pencemaran limbah di pesisir kota terus terjadi secara masif dan tidak pernah ditanggunglangi secara secara serius.
Dalam catatan KIARA, Sedikitnya 23.281.799 ha perairan di Indonesia terpapar limbah yang memicu matinya biota laut dan hilangnya ikan. Hal ini diperparah dengan kerusakan hutan bakau yang terjadi hampir di semua pesisir, dan berdampak pada sulitnya nelayan untuk mendapatkan hasil tangkap yang maksimal.
Masyarakat Sipil mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menolak Kebijakan perampasa ruang rakyat dan reklamasi pantai Indonesia. []

Ulang Tahun ke-5 Lumpur Lapindo Sidoarjo
Oleh : Samsul Arifin, SMA NU Genteng Bantuwangi

            Waktu berputar begitu cepat,hari berganti hari,minggu berganti minggu,bulan berganti bulan,dan tahun berganti tahun.Tak terasa semburan si Lumpur Lapindo Porong Sidoarjo akan berusia 5 tahun tepat pada tanggal 29 mei 2011 mendatang.Bencana Lumpur Lapindo ini akan menjadi sebuah sejarah bagi warga negara Indonesia ,khususnya masyarakat sidoarjo.Tak layaknya sejarah-sejarah pada umumnya,sejarah Lumpur Lapindo adalah sejarah pahit bagi kita semua.Yangsudah 5 tahun bencana ini seakan-akan tidak ada perubahan yang signifikan,bahkan kian meluas.Sampai-sampai ada diantara kita yang menganggap,bahwa pemerintah bagaikan menegakkan benang kusut dalam menangani masalah ini.
Bencana Lumpur Lapindo ini telah menggenangi seluas 800 hektar lahan,lebih dari 1000 rumah rusak,300 hektare sawah tergenang,500 hektare sawah rusak,87 pabrik hancur,7000 tambak tercemar,14 nyawa melayang akibat ledakan pipa gas Lumpur lapindo,5 orrang tewas akibat menghirup  gas beracun Lumpur Lapindo dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang merugikan berbagai pihak,baiknegara maupun masyarakat.Namun kerugian Negara tidak sebanding dengan penderitaan masyarakat Sidoarjo.
            Setelah5 tahun bencana Lumpur Lapindo melanda sidoarjo,tentunya masalah ini (Lumpur Lapindo) telah mendapat perhatian dari seluruh masyarakat di seluruh tanah air.Karena telah kita ketahui bersama,selama kurun waktu 5 tahun  Lumpur Lapindo ini belum dapat diatasi oleh pemerintah,masih banyak spanduk-spanduk yang isinya menuntut pemerintah untuk memberi ganti rugi atas bencana ini (Lumpur Lapindo),munculnya wacana-wacana tentangadanya indikasi korupsi dari dana bencana Lumpur Lapindo ini,dan masih banyak lagi yang lainnya.
            Sampai berlarut-larutnya masalah ini (Lumpur Lapindo) tida pernah terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi masalah ini (Lumpur Lapindo).Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhinya :faktor alam dan factor nonalam.Yang pertama adalah faktor alam seperti tingginya curah hujan,adanya gejala geologi(patahan,lipatan,gempa),cuaca yang tidak menentu dan lain-lain.Faktor alami ini jelas sekali mempengaruhi penyelesaian proyek penanggulangan terhadap Lumpur Lapindo.Seperti gempa dapat merobohkan tanggul Lumpur lapindo.Yang kedua adalah faktor non alam,faktor ini terkait dengan pihak-pihak yang bersangkutan dalam masalah bencana Lumpur lapindo.
Masyarakat   
Meskipun sudah 5 tahun bencana ini(LumpurLapindo)melandaseharusnya masyarakat harus tetap melakukan ha-hal yang positif.Sekiranya tidak menghambat penanggulangan bencana Lumpur Lapindo ini,seperti berdemo,berorasi menuntut perbaikan kepada pemerintah,dan lain-lain.Meskipun hal_hal yang dilakukan masyarakat sidoarjo seperti itu  masih dianggap dalam kategori wajar ,karena sudah 5 tahun mereka kehilangan harta,benda,bahkan mereka juga kehilangan orang-orang yang mereka sayangi,sementara itu bantuan ganti rugi dari pemeritah atas bencana ini juga tak kunjung datang mengenai kepastiannya.Namun masyarakat Sidoarjo sebagai pengawas dan pelaksana dari trobosan-trobosan yang dicanangkan pemerintah dalam hal ini(Lumpur Lapindo) ,masyarakat memiliki andi dan peran yang tidak sedikit dalam hal ini.Sehingga partisipasi masyarakat juga menentukan keberhasilan penanggulangan bencana Lumpur Lapindo tersebut.
Badan teknisi
Badan teknisi dalam hal ini adalah Badan Penanggulangan  Lapindo Sidoarjo(BPLS) .Juga memiliki pengaruh yang besar dalam penanggulangan Lumpur Lapindo ini di lapangan.Sehingga apabila ada wacana tentang hal hal yang buruk yang dilakukan BPLS,tentunya akan membuat buruk BPLS dalam pandangan masyarakat.Sehingga BPLS harus bekerja keras agar masyarakat tidak menganalisa yang tidak-tidak pada BPLS dan BPLS jangan hanya bekerja mencari keuntunga semata tetapi juga untuk menanggulangi bencana Lumpur Lapindo ini.
Pemerintah
Pemerintah sebagai regulator di Negara ini memiliki andil dan peran yang sangat besar dalam penanganan bencana ini,baik DPR/DPRD,Pemkot,Perda,maupun Pemerintah pusat.Mereka harus saling bekerja sama dalam menangani masalah ini(Lumpur Lapindo).Karena menurut pemerintahan yang demokratis itu pemerintahan yang dari rakyat,oleh rakyat,dan untuk rakyat.Tapi seperti yang kita ketahui bersama semenjak dalam kurun waktu 5 tahun masih banyak spandk-spanduk yang isinya menuntut pemerintah member ganti rugi atas bencana ini.Sehingga dari sini masyarakat dapat menilai kinerja semua elemen pemerintahan dan masyarakat akan mengira apakah ada hal lain yang mengganjal penyelesaian masalah ini seperti korupsi,penyelewengan kekuasaan dan lain-lain.Mengingat peran pemerintah yang begitu besar maka kesungguhan pemerintah dalam hal ini sangat diharapkan masyarakat.
            Mungkin semua pihak yang terkait sudah berusaha dalam penanggulangan Lapindo,hanya saja usaha yang dilakukan harus maksimal untuk memperoleh hasil yang maksimal.Dan pmerintah diharapkan mencari dan menerapkan trobosan-trobosan yang brilian tapi juga logis untuk menanggulangi Lumpur Lapindo ini.
Dibalik Bencana Lumpur Lapindo

Lumpur Lapindo merupakan hal yang tak asing bagi masyarakat Indonesia, terutama warga Jawa Timur, khususnya warga Porong, Sidoarjo yang terkena dampak langsung dari bencana tersebut. Penyebab bencana ini masih diperdebatkan sampai sekarang, dimana masing-masing pihak yang terkait memiliki argumen masing-masing tentang penyebab bencana yang telah menghilangkan tempat tinggal dan pekerjaan ribuan warga Porong, Sidoarjo. Sebagian pendapat mengatakan bencana lumpur Lapindo ini akibat kesalahan pihak Lapindo Brantas sebagai perusahaan yang mengeksplorasi minyak, dimana pihak Lapindo dianggap tidak melakukan proses pengeboran yang sesuai dengan standart operasional yang ada, namun ada pakar yang mengatakan bencana ini berkaitan dengan adanya bencana gempa bumi yang melanda Jogjakarta beberapa hari sebelumnya.
Kasus lumpur ini telah menimbulkan berbagai persoalan bahkan bukan hanya bagi warga porong, tapi bagi masyarakat jawa timur di wilayah surabaya, sidoarjo dan sekitarnya. Bencana lumpur itu telah menimbulkan kemacetan yang parah pada jalur utama surabaya-malang, sehingga pasokan barang dari surabaya ke malang dan sebaliknya mengalami kendala, sehingga hal ini sangat merugikan secara finansial bagi kegiatan usaha disekitar surabaya dan malang. Kemacetan lalu-lintas ini juga membuat warga menjadi lebih lama di jalan sehingga warga selalu terjebak kemacetan. Hal ini tentu saja membuat warga menjadi tidak nyaman dan meningkatkan kecelakaan lalu-lintas di daerah tersebut. Bencana lumpur ini bahkan bukan saja membuat kemacetan tapi juga beberapa kali menimbulkan kerusakan terhadap sarana transportasi akibat melubernya lumpur kebadan jalan, sehingga kadang-kadang aparat terpaksa mengalihkan jalur surabaya-malang dengan rute alternatif.
Masalah pokok yang dihadapi masyarakat korban bencana ini adalah kehilangan rumah tinggal dan mata pencaharian mereka. masyarakat korban lumpur kebanyakan tinggal di tempat pengungsian dengan kondisi yang tidak layak. Keadaan yang dialami para korban ini sangat sulit sekali, mereka menjalani hari-hari dengan keadaan yang begitu susah dimana mereka susah mendapatkan bahan makanan, air bersih, sarana pendidikan bagi anak-anak sekolah dan terutama mereka harus saling berbagi dengan para sesama pengungsi. Keadaan seperti ini diperparah dengan adanya konflik horizontal antar pengungsi karena kadang-kadang mereka kekurangan bahan makanan dan kebutuhan hidup yang lain, sehingga dengan keadaan seperti ini para korban mengalami tekanan mental yang membuat mereka menjadi mudah marah dan sangat mudah diprovokasi. Hal ini ditambah proses ganti rugi dan penanganan korban yang terkesan asal-asalan membuat nasib para  korban bencana menjadi tidak menentu.
Kondisi yang dialami para korban di pengungsian tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah. Para korban hidup dengan keadaan yang tidak layak, banyak korban bencana yang mengalami gangguan mental, trauma dan keputusasaan tentang nasib mereka. Trauma dan gangguan mental yang dialami beberapa warga korban bencana ini kurang diperhatikan oleh pemerintah dan pihak lapindo. Keadaan para korban ini sering memicu demontrasi yang menjurus kepada aksi anarkis oleh korban bencana seperti Pemblokiran jalan yang beberapa kali dilakukan oleh para korban menuntut ganti rugi yang sesuai dari PT Lapindo.
Pada proses ganti rugi ini pihak lapindo terkesan berbelit-belit dan berusaha memanfaatkan celah untuk menghidari tanggung-jawab mereka. Setelah beberapa saat bencana ini tidak dapat diatasi lapindo langsung mengumumkan kebangkrutan mereka. Kemudian dalam proses ganti rugi bencana ini wilayah disekitar bencana dipetakan menjadi wilayah terdampak dan wilayah tak terdampak, dimana ganti rugi hanya akan diberikan bagi wilayah terdampak saja. Kebijakan ini mendapat protes keras dari berbagai kalangan terutama para korban bencana. Kebijakan ini dalam prosesnya juga mengalami penyimpangan, dimana ada suatu daerah yang wilayahnya jelas-jelas terkubur oleh lumpur namun tidak masuk wilayah terdampak. Sampai sekarang proses ganti rugi ini tidak berjalan dengan baik, dan dalam prkteknya sering terjadi penyimpangan demi kepentingan golongan tertentu.
Pada akhirnya kasus bencana lumpur lapindo ini menunjukan beberapa hal yang seharusnya ditangani secara serius oleh pemerintah, yakni pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT Lapindo sebagai kontraktor pengeboran yang telah melakukan kelalaian sehingga menimbulkan bencana. Proses penanganan korban yang amburadul dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat, dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat yang tekena bencana dan disekitar bencana yang tidak dikaji secara mendalam dan sikap yang ditunjukan oleh para pengusaha dan kaum kapitalis yang hanya mementingkan kepentingan masing-masing yang seharusnya dapat menjadi kajian pemerintah tentang sistem ekonomi yang baik bagi bangsa ini.