MENURUT Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG, 2009), musim kemarau tahun ini berpotensi bakal sangat
panjang, hingga April 2010. Bahkan, akan disertai tiga fenomena alam
global seperti El Nino dan La Lina, Dipole Mode, dan Madden Julian
Oscilation (MJO), serta tiga fenomena alam regional seperti sirkulasi
Muson Asia-Australia, daerah pertemuan angin antartropis, dan naiknya
suhu muka laut.
Terjadinya El Nino di Indonesia
berasosiasi dengan berkurangnya curah hujan hingga berada jauh di bawah
normal akibat naiknya suhu permukaan laut di kawasan pasifik hingga di
atas normal, yakni mencapai di atas satu derajat celsius. Keadaan itu
mengakibatkan perairan di Indonesia dingin atau di bawah normal.
Negara
kita sebenarnya telah berulang-ulang mengalami fenomena alam El Nino.
Namun, kemampuan untuk mendeteksi secara dini fenomena tersebut masih
sangat lemah. Akurasi ramalan baru dapat diketahui 3-4 bulan sebelum
fenomena itu benar-benar terjadi. Kesulitan seperti ini menjadikan
langkah antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh fenomena alam
tersebut sering terlambat. Saat El- Nino melanda pada 1997/1998,
antisipasi dari pemerintah terlambat karena bersamaan dengan itu kondisi
suhu sosial politik dalam negeri mencapai titik kulminasi (Toto
Subandriyo, 2009).
Ancaman bahaya
bencana El Nino yang berkepanjangan sudah semakin jelas dan
mengkhawatirkan. Jika bencana ini sampai benar-benar terjadi, tentu akan
menjadi ancaman serius bagi kehidupan di muka bumi ini. Suhu udara akan
panas. Krisis air bersih dan kekeringan bakal menjadi bencana.
Kekeringan
sudah mulai dirasakan dan telah mengancam sejumlah daerah di Indonesia,
termasuk Jawa Tengah (Jateng). Sejumlah waduk mulai kering atau
menyusut debit airnya. Lebih dari 800.000 hektar sawah di Pantura Jawa
bahkan sudah puso dan ribuan hektar lain terancam mengalami penurunan
panen akibat kekurangan air. Daerah yang kekeringan, antara lain,
Kabupaten Kebumen, Tegal, Karanganyar, Brebes, Sragen, Semarang,
Purworejo, Cilacap, Rembang, Grobogan, Blora, Wonogiri, Demak,
Purwodadi, Rembang, Pati, Gunung Kidul, dan DIY.
Ancaman
gangguan iklim berupa kekeringan tidak bisa dipandang sebelah mata,
karena dampaknya berantai pada aspek lain. Para petani adalah kelompok
yang paling merasakan akibat kekeringan. Tanpa kecukupan air, sawah akan
mengering, panen gagal. Kerugian ekonomi pasti menimpa karena sawah
menjadi puso. Kekeringan yang dipicu El Nino akan mengganggu
ketersediaan pangan nasional dan mengakibatkan ketidaktahanan pangan
nasional (Ali Khomsan, Kompas, 4/8/2009).
Meski
dampaknya amat luar biasa, hingga kini belum ada upaya signifikan untuk
menyelesaikan soal kekeringan. Selama ini, penyelesaian masalah
kekeringan dilakukan dengan reaktif, temporer, ad hoc, parsial,
orientasi penciptaan proyek. Misalnya, pemberian air bersih, bantuan
pupuk, pompa, benih, pengadaan traktor, serta rehabilitasi sarana
irigasi, membuat hujan buatan yang biayanya mahal dan hasilnya kerap
kurang optimal. Ibarat sakit yang diobati hanya gejalagejala yang
timbul, bukan mencari sumber penyebab penyakitnya sehingga akhirnya
menjadi penyakit kambuhan.
Untuk perlu
upaya secara komprehensif dan berkelanjutan mengatasi bencana
kekeringan. Pertama, pemerintah provinsi (pemprov) beserta wali
kota/bupati sebagai pemegang kebijakan memanfaatkan dan mendayagunakan
sumber-sumber air dan kearifan lokal mengatasi bahaya kekeringan.
Termasuk yang masih terabaikan adalah pembenahan manajemen sumber daya
air dan sistem irigasi. Setiap daerah pasti memiliki sungai atau sumber
air. Ada pula yang mempunyai bendungan baik kategori besar, sedang,
maupun kecil. Sumber daya air itulah yang mestinya bisa dioptimalkan
kemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan air bersih serta irigasi atau
pengairan lahan pertanian.
Kedua,
mengoptimalkan sumbersumber air untuk berbagai kebutuhan. Cara sederhana
yang bisa dipraktikkan adalah membuat embung (bak-bak penampung air
hujan) dan sumur-sumur resapan, atau resapan dengan teknologi biopori.
Jadi, ketika air berlimpah pada musim hujan disimpan di bak-bak atau
tandon yang dibuat dengan standar tertentu agar memenuhi syarat
kesehatan. Selain itu, menjaga daerah tangkapan air dan mempertahankan
kelestarian hutan tak kalah penting karena menjadi penentu kuantitas dan
kualitas sumber air.
Ketiga, El Nino
merupakan fenomena iklim, di mana angin yang bertiup sangat kering dan
miskin uap air yang pada akhirnya menyebabkan kekeringan. Kebalikannya
La Nina, membawa curah hujan yang berlebih yang memicu banjir besar. El
Nino dan La Lina akan makin sering terjadi di Indonesia seiring dengan
makin kuatnya dampak perubahan iklim. Pemda perlu mengetahui berapa luas
potensi lahan pertanian dan mempertahankan luasannya dari berbagai
usaha alih fungsi lahan. Jangan sampai lahan pertanian yang potensial
terairi sepanjang tahun berubah fungsi untuk keperluan lain.
Keempat,
mengimbau petani tidak memaksakan diri untuk menanam padi apabila
kondisi air makin sedikit. Lebih aman mengatur pola tanam dengan menanam
palawija pada daerah yang sudah terbukti sulit air. Saat inilah
perlunya penyuluhan kepada kelompok tani di daerah yang sering mengalami
kekeringan. Tujuannya tak lain menentukan alternatif pola tanam yang
tepat agar petani tidak terpuruk akibat gagal panen karena kekeringan
seperti pengalaman tahun sebelumnya.
Kelima,
BMKG perlu menyampaikan keadaan aktual, kecenderungan, serta teknologi
adaptasi dan mitigasinya. Penyusunan sistem informasi kekeringan untuk
alokasi, optimasi, dan pendayagunaan sumber daya antarsektor mendesak
dilakukan. Pemerintah Provinsi Jateng harus memanfaatkan sistem
informasi itu. Dengan memanfaatkan data citra satelit Landsat TM, luas
lahan sawah, luas tanam, luas panen, indeks kebasahan, serta kemampuan
produksi pangan, dapat diestimasi tiga bulan sebelumnya.
Integrasi
data spasial, temporal, tabular, dan vektoral perubahan kekeringan
memungkinkan pengambil kebijakan mengembangkan sistem informasi untuk
berbagai keperluan, seperti tata ruang, manajemen alih fungsi lahan,
produksi air, reboisasi, dan penghijauan, bahkan dalam peningkatan
produksi pertanian.
Sutrisno | Wawasan Digital | 8 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar